Alarm Hati

Sebagai orang yang sering pakai kendaraan pribadi, tanpa sadar saya jadi suka merhatiin perilaku saya juga pengendara lain di jalanan. Kalau lagi waras, biasanya saya suka nunjuk hidung orang lain begini dan begitu dan jadi malu begitu lihat hidung sendiri. Memang lo nggak gitu, ya? Hahaha. Gitu, sih. Tapi nggak separah mereka. Tuh, kan nunjuk lagi.

Pas kewarasan saya lagi nggak ngumpul di satu tempat, saya seperti dikasih kesempatan sama Alloh untuk berpikir, mau sampai kapan saya terus ikut orang lain di jalan yang melakukan berbagai macam pelanggaran mulai dari yang kelihatan sepele sampai yang besar?

Memang sih saya pengin cepat sampai di tempat tujuan, memang sih saya punya kondisi yang urgen yang mungkin lagi nggak dialami sama yang lain, tapi itu bukan berarti kamu bisa mengabaikan keselamatan orang lain di jalan, kan? Kalau kamu nggak peduli sama keselamatan kamu sendiri, minimal pikirkan keselamatan orang lain karena di jalanan, kamu itu nggak sendirian.

Saya nggak tahu seberapa penting arti keselamatan berkendara bagi kamu di luar sana, terlebih yang nyetir sendiri (baik itu motor atau mobil). Buat saya yang sudah mengalami beberapa kali kecelakaan, menjaga keselamatan diri sendiri itu semakin membuat saya sadar bahwa semua yang di jalan itu punya seseorang yang sedang menunggu dengan cemas di rumah. 

Yang terus senantiasa mendoakan kebaikan, yang mendoakan nanti, lepas sore kita bisa pulang tanpa kekurangan suatu apapun. Tapi doa itu seakan nggak berarti karena kita nggak mendukung untuk dikabulkannya doa itu. Kita nyetir dengan ugal-ugalan di jalan, ngebut, ngepot sana sini, mencet klakson tanpa henti, melanggar hak pejalan kaki dengan naik ke atas trotoar dan berhenti di garis putih di lampu merah. 

Kita bahkan masih nekan gas waktu lampu lalu lintas sudah berubah merah. Kita seakan nggak peduli sama keselamatan orang lain dengan melanggar rambu-rambu lalin. Terus ngegas yang penting sampai di tempat dalam waktu sesingkat mungkin. Dan dalam hati kita yang paling dalam, saya yakin kalau kita bisa merasakan kalau apa yang kita lakukan itu salah, nggak benar.

Tinggal apakah kita mau membenarkan, dan kemudian melakukan perbaikan, atau malah mengabaikan alarm hati dan kemudian berpaling. Seharusnya kita takut kalau hati kita akan menjadi semakin keras, dan hati kita seakan ditutup oleh Alloh dari kebaikan.  

Kita bisa berkontribusi secara positif untuk negara dengan memulai segala sesuatunya dari diri sendiri. Kita bisa mulai dengan menaati peraturan lalu lintas dan saling mengingatkan sesama pengendara, dimulai dari diri sendiri dan dimulai saat ini. Jangan nanti-nanti, jangan esok hari, karena siapa yang menjamin kalau hari esok masih kita miliki?

Kita bisa membantu pemerintah dengan nggak buang sampah tisu, botol minum, makanan di jalanan, menyimpannya dulu di kantong/tas kita dan baru dibuang waktu ketemu tempat sampah, berhenti saat lampu berwarna merah, memelankan gas saat lampu berwarna kuning, berhenti di belakang garis putih (strip satu), tidak naik ke atas trotoar apalagi masuk ke jalur busway, menekan klakson hanya saat diperlukan, tidak menggunakan telepon genggam di atas kendaraan, dan memperhatikan kondisi fisik kita dan kendaraan sebelum melakukan perjalanan.

Ini terdengar sepele banget, tapi, bukankah yang sedikit itu kalau ditumpuk lama-lama akan menjadi bukit? bukit manakah yang mau kita kumpulkan, kebaikan atau keburukan? 

Komentar

Postingan Populer