Adab Bersosial Media

Jujur, setelah uninstall beberapa sosial media, saya benar-benar merasakan yang namanya apa ya, ketenangan. Sekarang ini, selain wa, saya cuma pakai blog ini saja sebagai sarana berbagi. Semoga niat saya sampai untuk membagikan apa-apa yang menurut saya penting dan bisa bermanfaat untuk para pembaca yang setia mampir ke blog ini. Terima kasih, ya.

Nggak bisa dimungkiri, tiap manusia itu fitrah pengin diketahui orang lain. Makanya ada kemudian kita kenal istilah namanya narsis. Walau mungkin memang nggak semua orang terjangkiti penyakit yang satu ini, tapi, keinginan untuk eksis itu bisa mampir ke diri kita, sekalipun dia orang yang pemalu dan pendiam macam saya.

Punya sosial media itu nggak dilarang. Hanya saja, yang perlu kita perhatikan itu cara kita menggunakannya. Kalau kita paham dan sedikit mau usaha cari tahu seperti apa sih seharusnya kita bersosial media, insyaalloh yang namanya hoax itu nggak akan pernah terjadi. Belum bicara dari sisi agama, dari sisi integritas kita saja sebagai individu atau profesional di dunia kerja, begitu ketahuan menyebarkan berita hoax, nama kita pasti langsung akan jadi sorotan. Nama kita juga bakal terus disebut-sebut sebagai penyebar berita yang nggak bertanggung jawab dan lain sebagainya, dan kalau hal ini betul, pasti nggak ada alasan buat kita untuk merasa sakit hati. Lain halnya kalau yang sebaliknya yang terjadi.

Sekarang ini, sifatnya sudah urgent banget buat kita untuk tahu gimana sih cara bersosial media yang baik dan benar. Menjadi netizen yang beradab dan membudayakan adab yang baik dalam bersosial media. Ini bukan persoalan sepele. Karena kita semua sadar betapa hidup kita sekarang ini berhubungan dengan yang namanya sosial media hampir setiap hari. Usaha pun sudah hampir semua sudah melalui online.

Yang paling mudah untuk dilakukan itu adalah pertama, sebelum menyebar berita apapun yang kita dapat dari grup atau personal, kita make sure dulu kebenaran dari berita tersebut. Kalau dalam istilah media cover both sides namanya. Kalau memang belum ada konfirmasi dari orang yang diberitakan, mending kita simpan dulu deh sambil cari tahu lagi update berita tersebut. Siapa tahu sudah ada perkembangan yang signifikan. Jangan sebar dulu aja deh, benar apa nggaknya bukan urusan kita. Hindari mental yang seperti ini karena sebenarnya yang dirugikan dalam hal ini bukan siapa-siapa melainkan diri kita sendiri.

Yang kedua, kita harus sadar kalau nggak semua yang kita tahu itu harus kita bagi. Kalau cuma mau taruh di status wa kita saja sih silakan (ini pun dengan beberapa catatan), tapi kalau sudah mau kita sebar ke sosial media kita yang lain, balik lagi kita perlu kroscek itu tadi. Kita perlu tabayyun, terlebih kalau berita yang mau kita sebar itu sumbernya kita kenal secara pribadi, itu malah lebih baik dan bisa lebih cepat kita dapat klarifikasi beritanya.

Hafsh bin 'Ashim, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda;

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Cukup seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (HR. Muslim no. 5). Imam Nawawi rahimahullah membawakan hadits di atas pada Shahih Muslim dalam judul Bab “Larangan membicarakan semua yang didengar.”
Budaya tabayyun ini yang juga kadang terlewat dan kita anggap remeh sekarang ini. Nah, kalau ini kita skip begitu saja, potensi berita menjadi hoax akan cukup besar dan akibatnya apa? bisa jadi berbuah ketidaksukaan dari orang yang kita sebar beritanya. Ujungnya bisa jadi pelaporan atas pencemaran nama baik dan lain sebagainya. Rumit kan kalau semua orang merasa dicemarkan nama baiknya dan lapor sana lapor sini?

Yang ketiga, tinggalin deh yang namanya baperan. Apalagi buat orang yang darah tinggi, punya sosial media sangat tidak disarankan. Di sosial media, kita nggak bisa mengendalikan komentar orang lain. Yang bisa kita kendalikan itu komentar kita untuk orang lain, dan itu yang menjadi highlight karena memang kita kan akan dihisab bukan karena perlakuan orang lain ke kita, ya (itu hisabnya dia) tapi perlakuan kita ke orang lain.

Komentar ini juga yang bakalan jadi masalah buat kita (baik di dunia apalagi di akhirat). Pertimbangan bahwa semua akan dihisab (termasuk apa yang kita tulis di sosial media) adalah pengingat paling ampuh bagi kita untuk tetap mengedepankan adab yang baik dalam berhubungan dengan orang lain di sosial media.

Kalau kita sibuk dengan amal kita sendiri, kita pasti akan kesulitan untuk menemukan celah untuk nyinyiran hidup orang lain. Ini berlaku juga buat soal copras capres sekarang ini. Serius, saya sampai bingung kenapa hubungan saya sama seorang blogger bisa jadi berasa nggak enak cuma karena kita beda pilihan. Saya sepenuhnya menghormati apapun pilihan orang lain, dan cara-cara menyebar berita hoax itu buat saya tidak efektif karena sekarang ini saya kira masyarakat sudah cerdas untuk tahu yang mana yang benar dan mana yang rekayasa.

Sebelum mengedukasi orang lain, mungkin ada baiknya kita mengedukasi diri kita sendiri terlebih dahulu untuk menghormati apapun pilihan politik orang lain. Siapapun yang terpilih nanti, itu bukan karena suara kita, trust me. Tapi karena memang Alloh menakdirkan orang tersebut untuk sementara dibebankan menanggung amanah yang tidak ringan.

Di zaman rosululloh, orang paling sholeh berlarian menjauh ketika diminta menduduki sebuah jabatan paling bergengsi dalam pemerintahan. Karena tanggung jawabnya sungguh berat di akhirat nanti. Bayangkan, kalau ada satu rakyat saja yang haknya disalahi oleh sang pemimpin, bagaimana dengan suara 300 juta orang?

La Hawla Wa Laa Quwwata Illa Billah.




Komentar

Postingan Populer