(Cerpen) Pelan-pelan Saja
Eka harus pergi belanja. Ke Kota atau Jatinegara. Harus. Setidaknya, jika Eka tidak mau, Eka tidak bisa mengutarakan keengganannya karena satu, ibu yang menyuruhnya pergi belanja, kedua, bapak sedang sakit.
Selama
ini, Eka merasa belum melakukan banyak hal untuk kedua orangtuanya. Orang tua
yang telah sangat berjasa merawat dan membesarkannya hingga di usianya yang
mencapai 25. Dalam sujud panjangnya, Eka tak pernah meminta selain kesehatan
dan kebahagiaan untuk kedua orangtuanya. Orang tua yang sudah sepuh, beranjak
menua bersamaan dengan bertambahnya usianya sebagai satu-satunya anak lelaki di
keluarga.
Namun,
kali ini situasinya berbeda. Besok, harusnya ia pergi bersama seorang temannya
untuk mencari buku. Eka sudah terlanjur janji untuk menemani teman semasa
sekolah di bangku menengah ke pinggiran pusat Kota untuk mencari buku murah.
Temannya itu, sebut saja Rodi sedang mencari buku untuk tugas kuliahnya.
Ya.
Teman-teman sekolah Eka dulu rata-rata melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi. Eka sungguh ingin mengikuti jejak teman-temannya itu, namun, ia
mengekang mimpinya untuk menginjak Benua Amerika karena segala keterbatasan
yang terpampang nyata di hadapannya.
Lepas
sekolah, ia diajak ngojek oleh teman bapaknya yang berprofesi sebagai sopir
taksi. Karena faktor usia, bapak Eka kemudian berhenti naksi atas saran dokter
untuk tidak banyak bergerak demi kesehatannya sendiri. Dan Eka, beralih menjadi
tulang punggung keluarga.
Kini,
ada 4 orang yang harus diberinya makan. Sudah seharusnya, Ia sebagai anak
pertama dan laki-laki satu-satunya mengambil tanggungjawab untuk menghidupi
keluarga yang sangat dicintainya itu.
Dua
orang adiknya, Nana, baru menginjak usia 5 tahun, sementara Nona baru tahun ini
masuk SD.
Eka
berpikir cepat, menyusun siasat agar ia bisa tetap menemani temannya tanpa
mengabaikan titah sang ibunda. Ia pun kemudian memikirkan cara ini, belanja
pagi hari, baru berangkat mencari buku.
“Ya.
Ini satu-satunya cara.” Ujar Eka dalam hati. Pasti keburulah, kan toko bukunya
juga tutupnya sore.
Eka
mengeluarkan telepon genggamnya, mengirim pesan singkat pada Rodi untuk
mengubah jadwal mereka semula dari pukul 9 pagi menjadi siang hari, entah pukul
berapa.
“Siang
jam berapa, ka?” balas Rodi singkat.
“Nanti
kukabari.”
“Oke.
Makasih Ka. Kelar cari buku, aku traktir mie ayam depan toko buku. Enak,
dijamin nambah.”
Eka
mengulum senyum. Ia senang, temannya itu mengerti betul meski ia tak menyertai alasan
mengapa ia memundurkan jadwal kesepakatan yang telah mereka buat sebelumnya.
Dari sekian teman, Rodi memang salah satu sahabatnya yang paling pengertian.
Meski tak diminta, Rodi kadang meminjami Eka buku-buku yang ia beli untuk
melengkapi khasanah ilmu pengetahuannya. Tentu saja buku-buku di luar mata
kuliahnya.
Sebagai
mahasiswa salah satu perguruan tinggi bonafit di Jakarta, Rodi tak mau disebut
sebagai mahasiswa absen yang datang hanya untuk mengisi daftar hadir.
Karenanya, ia senang dekat-dekat dengan Eka karena menurutnya, Eka punya selera
yang bagus dalam membaca. Itu sungguh membantunya dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan dosen di kelas, atau teman-teman kuliahnya.
***
Ayam
jantan berkokok tiga kali. Bersahut-sahutan dengan suara adzan dari masjid yang
berjarak beberapa blok dari rumah Eka. Melongok ke luar jendela, Eka berbisik
pada langit yang tampak muram, “Berikan aku yang terbaik hari ini, Tuhan.”
“Motormu
udah dipanaskan, Ka?”
“Sudah,
bu.”
“Sarapan
dulu. Pelan-pelan saja, ndak usah ngebut-ngebut di jalan nanti.”
“Iya,
bu. Eka nggak mungkin ngebut karena bawa barang belanjaan.”
“Kalau
bisa, pulangnya beliin bapakmu obat. Di puskesmas katanya ndak ada.”
Rencana
berubah. Eka tak menyiapkan skenario berikutnya. Diputarnya otak, untuk kemudian
bersegera menghabiskan singkong dan pisang rebus serta kopi yang biasa ibu
buatkan untuk bapak. Ia teringat, ada satu orang yang bisa dimintai tolong
untuk mengambilkan obat.
Sekalian jalan. Semua pasti
terkaver kalau begini. Semoga.
***
“Jangan
lewat sana, mas. Ada polisi.” Ujar seorang lelaki yang sedang memutar arah pada
Eka. Eka memicingkan kedua matanya. Sudah lama tak melewati jalur ini, rupanya
fly over Cempaka Putih sudah tak bisa dilewati roda dua. Ia beruntung baru
hendak menaiki jembatan, belum kadung separuh jalan seperti yang lain. Tak
berapa lama, wusshhh! Sebuah motor motor gede berwarna merah dengan pengendara
berjaket kulit hitam, datang menantang angin. Eka memejamkan matanya, debu
kelewat ganas siang ini. Angin yang datang berlawanan arah dari motor gede itu
hampir membuat matanya kelilipan jika ia tak segera menutupnya.
Sampai
di bawah, ternyata tak ada siapa-siapa. Kabar burung rupanya. Eka mengurut
dada. belanjaannya memang tak begitu banyak, tapi, ia tak mau ceroboh mengambil
resiko mengabaikan aturan lalu lintas. Meski tak kuliah, sejak dulu ayah dan
ibunya mendidik Eka untuk taat bukan hanya pada perintah orangtua, namun juga
aturan tempat dimana ia tinggal. Untuk itu, ia selamat hingga hari ini.
Masih
terbayang dengan jelas di benaknya, kejadian beberapa tahun silam, saat seorang
teman sekolahnya nekat mengendarai motor yang tak berspion dan ber-sim. Kala
itu ia baru-baru masuk sekolah menengah atas, dan sebagian teman-temannya sudah
ada yang membawa motor ke sekolah. Atau bahkan mobil, meski diantar dan
dijemput. Akibatnya, temannya itu
mendapat masalah dengan polisi, dan tentu saja, orangtuanya tidak memberinya
izin lagi untuk mengendarai motor.
Atau
yang belum lama terjadi, beberapa minggu yang lalu, seorang pelajar berseragam
putih abu-abu terkapar bersimbah darah di tengah jalan arah Kalimalang. Eka
bergidik mengingat rupa korban yang diduga kebut-kebutan di jalan itu. Memasuki kawasan industri, perhatian Eka
dengan segera teralih pada orang-orang yang tampak sibuk mengerumuni sesuatu.
Entah apa. Eka mendekat, memelankan kendaraannya, lalu berhenti dan menepi di
jalur yang menurutnya aman dan tidak menggangu pengendara lain.
Ada keramain lagi. Ada apa, ya?
Didera
penasaran yang teramat sangat, Eka bertanya pada seorang lelaki paruh baya yang
tampak menanggung beban berat di pundaknya yang parkir tak jauh darinya.
“Misi,
pak. Ada kecelakaan, ya?”
Bapak
itu mengangguk pelan. “Biasa, ngebut dan nyalip, mas. Lolos menghindari mobil,
malah kelindas truk.
Eka
menutup kedua matanya membayangkan seperti apa rupa korban kecelakaan hari ini.
Tak sanggup berada lebih lama di tempat kejadian perkara, sesuatu yang bergetar
dari saku celana membuatnya segera tersadar.
“Obat
sudah beres, Ka. Dimana?” tanya sebuah suara di ujung telepon.
Eka
menepuk dahinya keras-keras. Ya ampun. Rodi. Lupa aku. Batinnya berteriak.
Diambilnya napas dalam-dalam sebelum menekan nomor Rodi yang dihapalnya di luar
kepala.
“Duh,
di. Maaf, ya. Masih di jalan nih. Macet banget, ada kecelakaan di daerah kawasan.”
Eka menatap jam di tangannya. Sudah satu jam ia terlambat dari waktu yang sudah
dijanjikannya ulang bersama Rodi.
Namun,
bukan Rodi namanya jika tak mengerti kondisi sahabat sepermainannya sejak dulu.
“Yang
penting kamu nggak apa-apa, Ka. Santai aja. Toko bukunya juga baru tutup sore
nanti.”
Lagi,
Eka mengulum senyumnya dalam-dalam. Kali ini, wajah ibunya melintasi benaknya
yang penuh dengan kecemasan menantinya di rumah. Ia kembali teringat pesan yang
selalu disampaikan sang ibu sebelum ia pergi ke pangkalan, “Pelan-pelan aja
jalannya, Ka. Yang penting selamat.” (*)
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
Komentar
Posting Komentar