Sebuah keputusan dan yang lainnya

Saya sudah mengambil keputusan penting, yang paling penting mungkin dalam hidup yang akan saya ambil yaitu, berhenti menulis. Iya. Berhenti menulis. Menulis cerpen dalam hal ini. Meskipun kemudian, di sebuah acara yang digelar di GI beberapa waktu yang lalu, salah seorang peserta my cup of story berhasil menyabet juara tiga sekali pun tidak mendapat dukungan dari keluarga, terkhusus ayahnya yang tidak senang bila ia menekuni dunia tulis menulis.  Saya merasa ditampar mendengar tuturan lelaki yang mengenakan scarf saat bicara di hadapan para pengunjung warung koffee.

Saya seperti bisa merasakannya, sungguh dan saya jika tidak cepat-cepat mengendalikan diri mungkin mata saya sudah basah sebasah-basahnya. Saya tidak sedang ingin mengurai terlalu banyak air mata saat itu karena well, waktu dan tempatnya kurang tepat sekali pun ada satu sisi dari diri ini ingin menumpahkannya begitu saja.

Dan, oh. Sebetulnya, saya sudah lelah menumpahkan air mata. Saya tidak ingin bilang kalau saya orang yang paling menderita yang pernah ada di dunia dengan mengatakan saya banyak menangis. Saya memang suka menangis, bahkan untuk hal paling kecil seperti seorang teman yang ingkar dengan janjinya, atau seorang teman yang saya kenal sudah cukup lama terlalu sering membicarakan orang lain.

Saya bahkan menangis untuk drama-drama korea yang dulu begitu saya gemari (saya sudah mengurang-ngurangi menontonnya hanya agar bisa menatap hidup lebih realistis), atau menangis saat nasi goreng yang saya masak bahkan tidak sanggup saya habiskan sendiri (sekali pun sudah sangat sedikit porsinya), apalagi orang lain?

Karena saya sudah memutuskan berhenti menulis (entah sejak kapan saya tidak lagi menulis cerpen kecuali untuk tugas mk), saya lebih sering membuka youtube, mencari-cari film horor yang bisa membuat mata saya melek, darah saya mengalir lebih cepat, dan mungkin membuat kuduk saya berdiri tiap memasuki scene-scene yang gelap dan berbau anyir.

Tapi, horor kan tak selamanya harus berhubungan dengan darah. Kemarin, saya nonton dua film, korea dan jepang yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya masuk dalam jenis apa film itu. Karena melihat judul film itu muncul begitu saja di youtube (kamu pasti tahu kan kenapa sebuah film itu pop up begitu saja di youtube kita?), saya pun mengkliknya karena memang sedang tidak ingin melakukan apa-apa selain mengisi kepala dengan hal-hal selain nulis, nulis, dan nulis.

Jadi, saya klik film dengan judul dogani yang terketik di sana (awalnya saya kira film jepang tidak tahunya korea) dan ternyata judul yang sebenarnya itu silence. Oh, saya merasa tersesat, dibohongi karena saya tidak tahu apa arti dogani yang tertulis di sana. Tapi, saya setuju yang menyatakan film ini membuat hidup saya hancur sesaat setelah menontonnya.

Bayangkan saja, kau, direkomendasikan oleh profesor di kampusmu untuk mengajar di sebuah sekolah semacam sekolah luar biasa (untuk anak-anak berkebutuhan khusus kalau di Indonesia) di tempat yang entah di mana dan belum lagi mengajar, kau sudah dimintai uang oleh kepala sekolah dengan alasan fund dan yang semacamnya.

Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, 50 juta won! (oh, itu berapa rupiah sih kalau dalam rupiah?) yang membuat ibumu harus merelakan menjual rumahnya karena kita masih berada di dalam tanggungannya. Yah, ini memang belum seberapa atau baru permulaan karena kau akan lebih terkejut begitu mendapati apa yang selama ini terjadi di sekolah ini.

Film ini rilis tahun 2011 dan diangkat dari kisah nyata yang terjadi di sebuah sekolah tuna rungu di Gwangju-Korea Selatan (2005). Di Indonesia, film serupa seperti ini belum pernah saya dapati, sekali pun faktanya isu yang diangkat cukup banyak atau marak kita temui di media. Permasalahan pelecehan seksual pada anak saja sudah cukup membuat kita geram.

Bayangkan jika hal ini menimpa pada anak-anak yang dianggap rendah hanya karena mereka tidak bisa mendengar, bicara seperti orang pada umumnya dan oleh karenanya segelintir orang merasa berhak untuk melecehkan mereka dengan melucuti celana mereka, menampar, memukul, atau memasukkan wajah anak-anak itu ke dalam mesin cuci! dan tindakan keji lainnya. Bisakah kamu membayangkannya?

Dan ini bukan hanya sekadar cerita atau dongeng belaka! yang dibuat sineas film untuk meraup keuntungan semata. Saya tahu, pertimbangan itu tetap ada karena mereka memakai gong yoo sebagai leading actor, dan menurut saya yoo cukup baik memerankan in hoo, seorang single parent yang berjuang hidup mandiri dan menghidupi anak semata wayangnya yang sakit-sakitan.

Beruntung yoo memiliki ibu yang pengertian dan sabar menghadapi yoo yang dulu, sebelum istrinya meninggal, in ho hidup semaunya saja, hanya peduli pada dunia seninya dan abai terhadap tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Selain train to bussan yang kental dengan adegan kekerasan dan darah, silenced saya kira merupakan puncak kesuksesan karir gong yoo yang saya pikir hanya bisa memerankan karakter cowok cute, kaya, pujaan jutaan wanita seperti di coffee prince. Oh, tapi ternyata ada film yoo lain yang diperankannya juga dengan sangat baik.

Buat kamu yang berhati lemah dan mudah tersulut amarah, saya sarankan jangan menonton film yang sarat dengan kekerasan ini. Sungguh, saya sulit membayangkan jika adik saya adalah min su, atau yeon du, atau yuri yang dipaksa harus menerima perlakuan orang-orang bejat yang merasa diri mereka suci karena telah menyumbang dana untuk tempat peribadatan.

Kenyataannya, banyak orang-orang seperti itu, menggunakan uang hanya demi memenuhi hawa nafsu bejatnya. Orang-orang yang kemudian bersembunyi di balik jubah atau identitas keagamaan namun sejatinya adalah budak-budak setan.















   


Komentar

  1. Wahhh jadi langsung nyari filmnya..tapi kayaknya hti bakal kesayat-sayat...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer