Susahnya Minta Maaf

Kehidupan, memang sungguh penuh kejutan. Mengetahui kisah orang sukses secara dunia, rasanya memang pantas kalau mereka mendapatkan kesuksesan itu.

Sepertinya, mereka tidak pernah mengharap macam-macam alias nggak neko-neko. Mereka hanya berusaha, melakukan apa yang mereka anggap perlu (dan bisa) yang mungkin bisa meninggalkan manfaat untuk masyarakat luas.

Dan kadang, kita suka bilang begini: "hanya ini yang bisa saya lakukan." Bahkan, bisa saja, kita merasa sudah melakukan segala sesuatu yang bisa kita usahakan.

Padahal bisa saja itu belum usaha kita yang paling maksimal. Bisa saja, kalau kita mau usaha lebih cerdas dan lebih keras, hasilnya mungkin berbeda.

Apakah kita pernah memikirkannya? Dulu, saya tidak pernah berpikir sampai kesana.

Dulu, saya berpikirnya, bahwa semua yang sudah saya lakukan selama ini adalah yang paling maksimal. Yang terbaiklah.

Padahal, setelah dipikir-pikir lagi, itu mungkin tidak betul seluruhnya. Apa yang saya lakukan, bisa saja belum maksimal.

Saya bahkan masih suka kesulitan jika mendapat pertanyaan, kamu  sebenarnya sukanya apa? Kalau kerja, kamu mau masuk ke industri apa? atau kalau misal mau bisnis, mau menekuni bisnis apa? Jawaban dari pertanyaan yang terakhir, jujur saya belum punya jawabannya.

Jadi begini. Saya tahu, apa dan bagaimana saya mungkin bukan hal penting diketahui khalayak ramai. Dan saya juga merasa tidak perlu-perlu amat untuk melakukannya.

Namun, izinkanlah saya untuk sekadar berbagi sedikit saja. Saya berharap, sedikit dari apa yang saya ketahui dan dititipkan Alloh, dapat bermanfaat bagi teman-teman semua.

Kita boleh kembali dulu ke beberapa tahun belakang, ya sebagai latar belakang cerita. Hidup saya, dapat dikatakan mungkin adalah tahun-tahun, yang kalau boleh saya sebut adalah tahun yang tidak begitu menyenangkan.

Bahkan kalau bisa, saya ingin sekali melupakan dan menghapusnya. Namun, hal tersebut tentu saja bukan hal yang bisa dilakukan manusia. Dan tentu, tanpa tahun-tahun tersebut, tidak akan ada saya yang sekarang ini.

Lalu kemudian saya disadarkan, bahwa terlambat rasanya masih lebih baik walaupun kalau bisa sadar lebih awal, tentu hal yang baik yang semestinya harus kita usahakan.

Ok. Ini, saya menulis dilatar belakangi beberapa perempuan yang kayak lagi mau tawuran. Moga-moga nggak terjadi tawuran beneran, ya. Karena suara mereka makin lama makin meninggi, nih.

Mari kita lanjutkan.

Saya sadar betul, tahun-tahun belakang, saya mungkin makhluk egois yang pernah ada di muka bumi. Ok, itu berlebihan. Mari diperkecil sekupnya di keluarga saya saja.

Sampai sekarang sih, karena manusia memang makhluk yang cenderung individual, keegoisan itu tentu masih ada, dengan intensitas yang semoga sudah jauh lebih berkurang.

Rasanya, saya tidak perlu memanggil orang hanya untuk membenarkan ini. Saya perlu menyadarinya sendiri, dan melakukan sesuatu terhadap hal itu, jika saya benar-benar ingin berubah.

Dan segala sesuatu itu, memerlukan proses. Merubah diri sendiri bukan usaha yang bisa dilakukan dalam waktu semalam. Ia membutuhkan waktu yang tidak sebentar, dan usaha/ikhtiar yang maksimal. Doa apalagi. Kesungguhan kita untuk mau berubah ke arah yang lebih baik, dipertaruhkan disini.

Mungkin ada ya, orang yang tidak menemukan kesulitan berarti melakukan perubahan, yang bahkan lumayan drastis dalam hidupnya. Namun, jumlahnya mungkin hanya berapa persen.

Saya harus segera melakukan sesuatu, dan yang pertama, dan masih harus terus diusahakan adalah introspeksi. Muhasabah.

Saya merenung, menyendiri, disadarkan bahwa Alloh itu tidak pernah dzolim terhadap hamba-Nya. Alloh itu, pasti memberikan yang terbaik untuk setiap hamba-Nya, dengan atau tanpa diminta. Dan saya terlambat menyadari itu.

Hanya saja, kadang kita luput melihat segala sesuatu dari sisi Alloh. Kita melihatnya masih menggunakan nafsu, syahwat kita yang cenderung mengarah pada keburukan.

Kita sudah tahu misal, rokok itu tidak baik buat kesehatan, tapi kita tetap saja menghisapnya. Bahkan, sebungkus sehari kalau lagi banyak uang. Nggak peduli deh meski harus sampai berantem sama istri, keluarga cuma gara-gara rokok yang nggak penting banget sebenarnya buat diberantemin.

Hal-hal sepele yang sebenarnya kita sudah tahu saja, kita masih suka nggak peduli, gimana hal lain yang jauh lebih besar dan lebih penting? yang justru harusnya lebih patut untuk kita khawatiri, tapi alih-alih malah kita abaikan. Yah, itu yang saya terjadi pada hidup saya di tahun-tahun belakang. Dan penyesalan, memang selalu datang belakangan. Karena kalau di depan, namanya pendaftaran.

Melawan orang tua, membuat mereka sedih, dikatakan anak membangkan, bahkan saya pernah kepikiran untuk bunuh diri, pergi dari rumah kalau sudah berantem besar sama orang tua. Dan saya baru sadar, bahwa kenapa saya diberi ujian seperti ini, karena Alloh akan menguji kita dengan apa-apa yang kita cintai. Dan saya tidak bisa katakan betapa besar rasa cinta saya untuk kedua orang tua saya.

Sekalipun begitu, saya belum bisa membuat mereka bahagia dengan memberikan mereka calon suami yang mau serius meminang saya sampai saat ini. Dan meski tidak mudah meyakinkan mereka, saya sudah berusaha mencari, hanya saja saya memang tidak pernah menceritakan secara detail apa yang telah atau akan saya lakukan. Biarlah nanti, pada waktu yang menurut Alloh tepat bagi saya untuk membina rumah tangga, saya akan mengenalkan laki-laki yang serius untuk membersamai dalam rumah tangga yang samawa.

Saya yakin, semua orang tua hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Saya juga yakin, tidak ada anak yang tidak ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Ini sebetulnya bisa ketemu, kalau terjalin pengertian diantara keduanya.

Rumah tangga mana lagipula yang tidak pernah berantem? selama tidak menyakiti secara fisik dan mental, berantem itu, seperti cemburu bisa mempererat hubungan. Selama ada kata maaf dan mau memaafkan lebih dulu (sekalipun kita tidak salah), masalah dapat diselesaikan secara baik.
























Komentar

Postingan Populer