Kanan atau Kiri? Putuskanlah Sendiri

Sumber: pixabay
Seperti Putri Tanjung yang sempat merasa nggak nyaman selalu dikaitkan dengan kesuksesan orang tuanya, setiap dari kita, pasti punya hal yang membuat kita berada di posisi yang sama. Setiap tema, sebetulnya punya sisi sensitif, tergantung ke arah mana konteks percakapan diarahkan.

Seperti Raditya Dika yang bisa segitu masa bodohnya dengan apa yang orang lain rasakan, sekalipun ia seorang introvert sejati (menurut pengakuannya), atau Pandji yang entah apa yang merasukinya sehingga membahas cukup banyak hal2 di luar dari pekerjaannya sebagai seorang seniman, komedian. Setiap keputusan adalah pilihan.

Seperti Ricis, yang sempat punya pikiran untuk bunuh diri, yang sudah dilakukan oleh salah satu artis Korea, yang sepertinya cukup punya nama (setidaknya di kalangan pecinta pop Korea). Kejadian terakhir, membuat saya bertanya, sebegitu dashyatnyakah efek bully-an netizen mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan besar dalam hidupnya.

Setiap keputusan, menurut saya nggak ada yang remeh atau nggak penting. Sekecil apapun keputusan yang kita ambil, menjadi penting karena ia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.

Jika kemudahan teknologi memiliki dampak yang seburuk seperti sekarang ini, tentu saja tidak seluruhnya negatif, mungkin rasanya lebih indah masa2 sebelum teknologi ada. Masa2 waktu kita masih saling menulis, mengirim surat secara diam2 untuk orang yang kita taksir.

Melempar batu ke jendela, dan merasakan jantung berdegup begitu kencang karena takut ketahuan ngapelin anak perempuan orang di jam yang sudah kelewat malam. 

Kenapa saya merasa, teknologi menjadi begitu kejam, kita yang berada di belakang teknologi, menunggangi teknologi untuk menghakimi hidup orang lain. Dan itu kita lakukan, tanpa perasaan bersalah. Atau, sudah hilangkah nurani dan perasaan kita?

Seperti belati, ia bisa menusuk kapan saja, dari sisi yang mana saja. Dan seperti bom waktu, ia bisa meledak sewaktu2.

Teknologi, atau bisa kita katakan internet, memisahkan hati, menjauhkan yang dekat, sekaligus mendekatkan yang jauh.

Entah apa ini yang dikatakan teknologi, sehingga kita seperti mendewa2kannya. Kita lebih memilih berantem dengan keluarga karena game, rokok, dan teman2nnya. Kita merindukan kebahagiaan, berharap mendapatkannya di sosial media, terlupa kalau kebahagiaan itu sejatinya begitu dekat.

Ia ada di rumah, begitu dekat, dan mudah kita jangkau. Hanya saja, kita melewatkannya begitu saja. Kita mengharap mendapat kebahagiaan pada sesuatu yang maya.

Saya, mungkin bisa dikatakan geli tiap kali ada orang yang meminta saya untuk menjemput jodoh melalui internet. Coba2, siapa tahu dapat, karena ceritanya, ada temannya yang berhasil menemukan jodohnya lewat internet, entah lewat aplikasi apa. Ya, pokoknya lewat internetlah.

Ya, yang paling mudah dan cepat menjawab itu adalah, apa iya jalan jodoh setiap orang sama? Mungkin bisa saja, tidak ada yang pernah tahu akan hal itu. Bukankah kalau kita tidak mencobanya, kita tidak akan pernah menemukan jawabannya?

Saya melakukannya, mencobanya, bukan tidak. Dan saya belajar untuk tidak menaruh harap banyak2, karena saya sudah pernah dikecewakan karenanya. Tak perlulah saya bilang berapa kali atau berapa banyak, karena mungkin nggak akan ada yang tertarik, dan tidak penting juga untuk dibahas.

Yang saya ingin katakan, berhentilah menghakimi hidup orang lain. Berhentilah, memaksakan kehendak kita pada orang lain. Betul, mungkin kita melakukan itu karena kita peduli, sayang pada orang tersebut, namun, yang harus kita pikirkan juga adalah apakah yang kita sampaikan, caranya bisa diterima dengan baik? Itu sepaket, saya kira.

Kita tentu tidak mungkin mengambil sebuah keputusan tanpa memikirkan konsekuensi atas pilihan yang kita akan ambil nanti. Rasanya mustahil, sekalipun bisa saja kejadian itu kita alami jika kepala kita sudah berkurang kewarasannya.

Apa kita bahagia, jika kita menjadi salah satu pencetus orang memutuskan bunuh diri, karena perkataan kita, karena permintaan kita yang kita anggap hanya becandaan atau lelucon saja. Berhentilah mencandakan sesuatu yang menurut kita, menurut kebiasaan kita hal yang biasa, ringan atau remeh saja. Tapi mungkin tidak remeh untuk orang yang kita becandakan.

Bijaksanalah, dan mencobalah untuk mengerti, kalau tidak mau berusaha menempatkan diri kita pada posisi orang lain yang tidak mudah dilakukan.

Saya ingat, saya pernah begitu menyukai seseorang, dan orang itu, kebalikannya, ia bahkan mungkin tidak pernah tahu nama saya. Kalau ingin memaksakan, mungkin bisa saja kami jadian, lalu saya berbahagia karena berhasil mendapatkannya. Namun, kemudian apa? apa setelahnya? bukankah saya menjadi orang yang paling egois karena mengabaikan perasaan orang yang saya sukai tersebut.

Saya, entah bagaimana lebih baik memilih untuk menyimpan perasaan ini dalam2, dan kemudian berbahagia menyaksikan ia berbahagia, sekalipun, yah, perih tentu saja. Saya masih normal, kok. Tenang saja.

Untuk sebagian orang, tema2 sepert ini mungkin dianggap picisan. Cinta? cih. Jenis makanan apa itu?

Ada satu  penulis yang saya tahu, tidak lagi bisa menulis tentang tema cinta, karena tidak tahu lagi apa yang bisa dikembangkan dari tema picisan itu. Yah, itu sah saja. Penulis itu bisa menulis apapun yang ingin ia tulis, tanpa harus merasa akan ada orang yang mungkin akan tersinggung dengan apa yang akan ia tulis.

Kita, tidak akan pernah tahu apa yang akan menimpa diri kita esok, bahkan dalam sedetik ke depan. Namun, kita diberi pilihan untuk mengambil jalan ke kanan atau berakhir di sisi kiri kehidupan yang sementara.















 

























Komentar

Postingan Populer