Sebuah review (kecil) tentang film Bangkit

Menerabas hujan untuk datang ke sebuah acara sebetulnya bukan gaya saya, apalagi jika acara itu tidak tergolong dalam kategori urgen atau wild card. Setidaknya begitu saya mulai menamai acara-acara yang wajib saya usahakan kehadirannya.

Dan kemarin, saya tahu mungkin sudah agak sedikit terlambat untuk nonton film Bangkit yang sudah rilis Juli lalu, namun saya rasa tidak ada salahnya untuk datang karena nobar yang datangnya dari BRid itu persis di hari Minggu. Tadinya sih saya pengin mengajak keluarga, namun tidak memungkinkan karena satu dan lain hal. Jadi saya mengajak seorang teman yang hari itu sedang available untuk keluar kos-an.

Saya tidak tahu keputusan saya mengajak teman saya ini tepat atau tidak karena nyatanya kemarin, hampir di sepanjang film diputar, puan ini tak jua berhenti membayangkan betapa Vino terlihat begitu macho (dan mungkin menggemaskan). Setidaknya di matanya. Yah, baiklah. Lupakan saja bahwa sutradara film ini adalah lelaki yang pernah menulis puisi yang dibaca Rangga (untuk merayu Cinta), lupakan juga bahwa selama ini sutradara tersebut menyutradarai cukup banyak film yang,... begitu.

Selain Vino yang di film ini memerankan tokoh sebagai lelaki yang hidup dalam dilema seperti layaknya tokoh-tokoh super hero (buatan manusia) pada umumnya, tampaknya teman saya cukup tertarik dengan kemungkinan adanya terowongan rahasia yang menghubungkan beberapa tempat di Jakarta yang bermuara di satu titik yang menjadi kisahan dari film berdurasi  kurang lebih dua jam ini.

Buat saya, film ini berjalan agak cepat dan terlalu menekankan pada ending. Saya jadi kurang bisa menikmati bagian-bagian yang sebetulnya sudah dibuat cukup dramatis, namun kemudian terasa menjadi kentang karena tak lama adegan langsung digiring pada ending sebelum menuju scene baru.

Saya sempat teringat pada salah satu adegan di Titanic saat Vino berusaha menyelamatkan anak lelakinya di terowongan yang diledakkan atas perintah salah satu staf pemerintah, keharuan yang relatif sama menyeruak di benak saya seperti ketika Jack Dawson mempertaruhkan nyawa menyelamatkan orang yang dikasihinya.

Ada beberapa scene yang harusnya bisa lebih dieksplor namun malah berakhir kering, dan tak menyisakan kesan melainkan sedikit. Akting Dave Mahendra sedikit terbantu dengan adanya Acha yang emosinya lebih sering meledak-ledak dan melunak di lain waktu.

Ada satu scene yang sempat membuat waktu serasa berhenti berputar yang menurut saya cukup berhasil dimainkan Putri Ayudya (istri Vino), scene yang mana ada yang bisa menebak?
 



 


  









Komentar

Postingan Populer