Workshop Menjahit bersama Brother dan Kriya Indonesia

Punya orangtua yang bekerja di kompeksi dan kerjaannya tidak jauh dari mesin jahit, obras dan lain sebagainya tidak lantas menjadikan saya mengerti mengenai dunia orangtua saya itu. Kompeksinya sudah lama sekali tutup, orangtua saya kembali kepada kittah orang Sumatera, berdagang.

Entah karena alasan ingin bernostalgia atau yang lain yang tidak bisa saya identifikasi hingga acara usai, saya mendaftar pada acara workshop jahit menjahit yang diadakan Brother melalui mbak Astri. Saya anggap saat itu saya sedang beruntung karena jarang sekali saya ikut event dengan mbak Astri sebagai induk semang acaranya #eh 


Acaranya berlangsung Agustus kemarin di museum tekstil, Tenabang, Jakarta Pusat (18/8). Keberuntungan kedua lokasi acara yang cukup mudah dijangkau meski saya sempat nyasar dan jalan memutar untuk mencapai tempat acara. Yah, salah saya karena pertanyaan yang saya ajukan pada seorang ibu nyatanya kurang jelas, atau mungkin salah tanya. Saya lupa waktu itu saya tanya apa, yang pasti bikin saya jadi olahraga dengan berkeliling tenabang.

Syukurlah acara diselenggarakan pagi, cukup pagi hingga menyebabkan saya tak khawatir dan ragu untuk berkeringat. Ketika sampai dengan napas sedikit terengah, saya merasa senang karena peserta yang datang sudah cukup banyak. Tidak ada separuhnya memang, namun, cukuplah untuk membuat ruangan museum tekstil menjadi lebih semarak karena temaramnya lampu di ruangan yang akan kami pakai tersebut cukup membuat suasan pagi itu sedikit spooky.

Untuk meredakan sedikit ketegangan dan keringat yang mengucur karena olahraga dadakan tadi, saya berkeliling sebentar, melihat-lihat koleksi museum di beberapa ruangan setelah cipika cipiki dengan beberapa peserta blogger, kartini bluebird, dan puspaswara (penerbit).

Acara baru dimulai meski semua peserta sudah kumpul setelah pihak dari Pariwisata dan Kebudayaan, bu Sylvi datang yang hari itu tampil catchy dengan kebaya oranye yang cukup mencolok mata. Bu Sylvi, secara khusus mengutarakan rasa kagumnya pada para srikandi yang masih menyempatkan hadir ke acara workshop untuk menimba ilmu yang beliau harapkan dapat diambil manfaat oleh seluruh peserta hadir, yang memang didominasi kaum perempuan.   

Saya sendiri merasa cukup kagum bisa berada diantara para perempuan, rata-rata ibu-ibu muda yang masih sempat-sempatnya keluar untuk menimba ilmu di tengah kesibukannya mengurus keluarga. Saya jadi sering bertanya apa saya bisa sekuat dan sekeren mereka, ya bila sudah berstatus sebagai mamah-mamah muda nanti, yang kemudian harus saya ralat sendiri.

Workshop yang ditujukan untuk kami para pemula ini dibimbing oleh seorang pakar pada bidang jahit menjahit, bu Tati dengan mbak Astri selaku moderator acara. Jadi, langkah demi langkah sejak workshop dimulai diambil alih mbak Astri dari MC sebelum akhirnya peserta dibimbing baik oleh bu Tati langsung bersama mbak Astri, yang ternyata ilmu menjahitnya juga mumpuni.

Bu Tati yang sabar dan telaten membimbing peserta workshop
Di acara ini, mbak Astri juga menginformasikan mengenai buku Pintar Menjahit untuk Pemula yang ditulisnya yang telah cetak ulang sebanyak 23 kali. Luar biasa, ya. Saya tidak tahu persis bagaimana mbak Astri bisa memperoleh keahlian jahit menjahit, karena terbukti keahliannya yang satu ini memberikan banyak manfaat untuknya, juga untuk orang-orang di sekitarnya. Karena mbak Astri juga, saya dan teman-teman yang lain bisa hadir di workshop ini.

Berhubung yang menjahit pemula, hari itu mbak Astri dan tim telah menyiapkan sesuatu yang cukup mudah untuk dikerjakan oleh para peserta. Setelah alat-alat perang dibagikan, kami semua langsung tidak sabar untuk bisa langsung praktek membuat cardigan yang catchy yang sudah di blow out oleh mbak Astri sebelumnya di sosial media sehingga rasa penasaran kami sedikit terobati.

Setelah dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama maju ke 6 meja yang sudah disiapkan lebih dulu. Meja-meja itu digunakan untuk membuat pola, memberikan pentul di setiap sisi yang sudah dipola, menggunting bahan yang sudah siap untuk digunting, sebelum akhirnya diberi lapisan dan kemudian dijahit di mesin Brother yang hari itu sedang promo. Duh, promo apaan? Promonya sih sudah lewat, karena cuma berlaku saat workshop hari itu saja.

Peralatan tempur sebelum mulai perang. Semuanya wajib ada biar makin pol jahitnya
Dilihat sepintas sih kok kayaknya gampang ya bikin cardigan macam itu yang ternyata tidak gampang sama sekali. Kecele saya karena mulai dari membuat pola, mementul, sampai menggunting bahan setelah di rader saja saya memakan waktu yang cukup lama. Ya ampun, ternyata tidak sesederhana yang ada di kepala saya. Dengan pola semudah ini saja saya sudah pusing, ya gimana kalau yang rada canggih sedikit, coba?

Begitulah. Saya jadi merasa tertolong karena bisa mengerjakan pola bareng dengan mbak Nisa, mbak Uci dan beberapa peserta lain yang saling membantu dan memberikan dukungan moril. Haha. Beneran, deh. Saya sama mbak Nisa itu kayaknya peserta yang paling gimana gitu dibanding peserta yang lain. Buktinya, saya saja sampai lupa bikin pola untuk leher kalau saja tidak diingatkan oleh mbak Uci (kiss kiss).

Dan yang paling menyenangkan dan agak-agak tidak terduga adalah kami-kami yang masuk sebagai kelompok kedua, entah karena tidak sabaran pengin menjahit, atau malas menunggu kelompok pertama, jadilah kami mengerjakan pola, menggunting, dan lain-lainnya dengan gegoleran di lantai ruang-ruang pameran. Untung saja kami tidak disapu pihak museum, ya karena kami tetap menjaga kebersihan, kok dengan membuang sisa bahan yang tidak terpakai pada tempatnya.

Saya sendiri karena waktu workshop yang cukup singkat dan juga keterbatasan mesin jahit jadi tidak bisa merasakan kecanggihan mesin jahit portable Brother seri GS2700 keluaran baru yang dipakai pada workshop kali ini. Memang kurang maksimal dan jadi berasa ada yang kurang, tapi, setidaknya saya sudah sedikit paham bagaimana membuat pola, menggunting, dan basic-basic penggunaan mesin jahit portable yang ternyata memang cukup rumit. Semuanya sih sebenarnya hanya soal pembiasaan, karena kita bisa karena biasa, kan?


Berhubung saya tidak bisa komen banyak seputar mesin jahit Brother yang kami pakai di acara workshop, setidaknya saya bisa lihat peserta lain yang sempat merasakannya. Mereka kelihatan asyik dan seru juga serius waktu menjahit bahan menjadi cardigan yang lucu. Saya kira, ada perasaan puas yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata ketika kita bisa menyelesaikan apa yang telah kita mulai hari itu di workshop menjahit pintar bersama Brother.

Di rumah masih ada mesin jahit koleksi toempoe doeloe yang masih dipakai orangtua sampai saat ini. Saya sih tidak kebagian atau belum berani pakainya karena pengoperasiannya yang menurut saya bikin jantung dag dig dug karena masih melibatkan kaki di dalamnya. Duh, berasa naik motor saja karena bukan hanya tangan yang main, tapi kaki juga.

Yang penasaran sama mesin jahit portable terbaru dari Brother ini bisa langsung cus dibeli deh karena harganya cuma Rp 2,8 juta saja. Dan karena acara sudah harus selesai (karena waktu sudah menunjukkan pukul 3), saya pun segera membereskan cardigan saya yang seperti kasih tak sampai.

Ah, saya ingin mengucapkan terima kasih pada mbak Astri, brother, dan blue bird juga puspaswara dan museum tekstil yang telah membuat workshop ini menjadi nyata. Ke depannya, mungkin saya akan belajar lebih serius tentang bagaimana menjahit pakaian yang baik, minimal yang simpel-simpel dan bisa dipakai untuk orang-orang terkasih.

mbak Astri, Brother, dan model yang cardigannya kami buat di workshop kali ini


Yang punya saya, tidak perlu dilihat kan, ya, ya, ya? #sarungan





Komentar

Postingan Populer