Erasmus Huis dan rasa yang tertinggal


Perpustakaan dan Arsip Daerah yang terletak di bilangan Cikini, Jakarta Selatan sedang mendapat kunjungan siswa-siswi sebuah SD. Menyenangkan rasanya melihat anak-anak tidak lebih dari 15 tahun itu begitu antusias naik ke lantai satu, tempat dimana saya sedang berada saat ini. Bagi yang belum pernah berkunjung ke perpustakaan ini, lantai satu adalah tempat dimana buku-buku bisa dipinjam (koleksi dewasa) selain buku-buku anak yang berada di lantai dua.

Tentu saja peminjaman baru bisa dilakukan bagi mereka yang sudah terdaftar sebagai anggota, ya. Kalau dulu cukup mudah mendaftar menjadi anggota, belakangan sepertinya tidak lagi karena saya dengar kita harus membawa foto sendiri dan kartunya tidak langsung jadi di tempat seperti saat saya buat dulu beberapa waktu yang lalu. Saya pernah membahas hal ini, sedikit sebelumnya. Silakan berkunjung jika berkenan.

Dan kemarin, saya merasa menjadi anak-anak SD itu ketika berkunjung ke perpustakaan Erasmus Huis di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Ini kali pertama saya masuk ke pusat kebudayaan Belanda yang lokasi berdekatan dengan Kedutaan Besar Belanda.

Ada dua perpustakaan yang bisa kita dapati begitu masuk ke dalam. Yang satu di bawah Kedutaan sementara yang lain (di ruang yang lebih kecil) berada di bawah universitas Belanda. Waktu saya kesana ada beberapa orang yang sedang memasang layar besar di area besar yang terdapat di luar perpustakaan (depan kafe). Sepertinya hari ini akan ada acara (kebanyakkan malam) di sana. Saya tidak tanya persis apa acaranya. Saya kira kita bisa menemukan informasi ini dengan mudah di website mereka.

Di mushola (di ujung kanan dekat gedung KITLV), saya sempat bertemu seseorang yang sedang mengurus surat untuk tinggal di Belanda yang katanya prosesnya tidak sulit namun agak sedikit ribet saja. Haha. Sama, ya? Yah. Begitulah. Bayarnya juga ternyata tidak mahal. Sepertinya tidak sampai 500 ribu, deh dan sudah jadi sebelum satu bulan. Hanya saja agak ribet dan berat di ongkos karena mbak itu datang langsung dari Bandung, bolak balik Jakarta-Bandung untuk mengurus surat ini. Luar biasa, ya?

Di perpustakaan, saya bertemu dengan dua orang perempuan yang datang dengan kertas-kertas di tangannya dan kemudian saling berdiskusi dalam bahasa, err, saya kira Belanda. Rupanya salah satunya adalah siswa di sini sementara yang lain membantunya belajar karena besok katanya jadwal ujian. Tidak seperti di Perpustakaan Cikini yang terkesan kaku dan lengang, di sini tampaknya kita masih bisa berdiskusi, atau ngobrol tentu saja dengan suara yang dikira-kira, ya.

Pelayanannya pun ramah. Ada dua orang petugas perpustakaan yang siap membantu jika kita membutuhkan bantuan mereka dalam mencari buku atau yang lainnya. Kalau wifi ada, nggak? Hahaha. Pertanyaan standar, ya. Kalau kemarin saya kesana sih ada. Saya bingung juga kenapa bisa menggunakan fasilitas internet karena setahu saya hanya bisa digunakan untuk anggota perpustakaan, sementara saya tidak terdaftar sebagai anggota di Erasmus Huis.

Untuk menjadi membernya nggak mahal, kok. Cuma Rp 30 ribu/tahun lengkap dengan semua fasilitas yang disediakan perpustakaan. Kita bahkan akan diberikan informasi seputar jadwal acara yang akan diadakan Erasmus Huis dan bisa masuk ke perpustakaan saat pasar Belanda digelar.

Spot baca untu anak-anak dan beberapa koleksi buku bacaan

Layaknya perpustakaan di Belanda, interiornya khas dari kayu dan pencahayaannya pun bikin kita berasa lagi benar-benar mengunjungi perpustakaan di Belanda. Nggak heran sih kalau orang-orang sana paling senang ke perpustakaan pas masa liburan atau di sela-sela kegiatan mereka. Kalau kita kan paling banter ke mal, ya. Mal lagi mal lagi.

PR juga bagi pemerintah untuk menyediakan perpustakaan yang bukan hanya layak tapi juga menyenangkan untuk dikunjungi. Saya membayangkan ada perpustakaan yang dibangun di pinggir pantai atau laut dengan pemandangan sunset yang memerah jingga kala senja tiba. Hahaha. Di perpustakaan di Universitas Delft bahkan dibuat merumput gitu di atap bangunannya biar pengunjung merasa nyaman selama melakukan kegiatan di sana.

Dengar-dengar koleksi buku tentang di Indonesia dashyat lengkapnya (Universitas Leiden), bahkan lebih dari yang Indonesia miliki sendiri. Saya kira ini sudah waktunya bagi pemerintah untuk mulai serius mendatangkan buku-buku yang padat dan berisi, bukan yang cheesy yang bisa membuat para pembaca tersenyum-senyum setelahnya (pembaca muda).

Eh, tapi kemarin saya juga nggak serius baca, kok. Karena mepet (sampai satu setengah jam sebelum perpus tutup) saya jadi nggak punya banyak waktu buat menilik koleksi Erasmus Huis dan malah berakhir dengan menikmati mengambil foto-foto perpus yang, ah, gimana ya saya mendeskripsikanya...senang bila bisa memiliki perpustakaan semacam ini di rumah sendiri. Aamiin, insyaAlloh...









Komentar

  1. koleksi bukunya bahasa Belanda semua kah? menarik ini, udah lama pengen ke perpus2 macam begini, sayangnya sy tinggal di luar kota jadi belum kesampean aja

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada Indo sama Inggris juga, mbak. Mostly Belanda tentu. Tapi lumayan bisa ada buku yang dibaca, nggak kayak di Goethe isinya Jerman semua. Haha. Makasih sudah berkunjung, ya. Kalau pas ke Jakarta mampir, siapa tahu bisa pergi bareng kalau pas waktunya.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Tempat yg sangat menyenangkan untuk berlama lama membaca.ini baru namanya perpustakaan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju :) terima kasih sudah menyempatkan berkunjung.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer