Be Careful What You Wish For

Saya nggak tahu kalimat Indonesia apa yang pas untuk ngungkapin be careful what you wish for. Kalau ada yang tahu, monggo tinggalin komentar di kolom komen. Saya sangat menghargainya, dan tentu senang karena kehadiran anda di blog ini.

Ini cukup sulit, well, nggak sesulit itu, kok. Mungkin cuma saya saja yang membuatnya (terasa) seperti itu. Dulu, dulu sekali, saya pernah melongok ke luar jendela (waktu itu saya lagi di angkot), sedang dalam perjalanan pulang ke rumah (entah darimana). Di luar jendela angkot, saya lihat lampu-lampu yang menyala di luar sana terlihat begitu indah, kelap-kelip, membuat mata ini tidak bosan memandangnya lama-lama.

Lalu, entah darimana, di hati saya terlintas, "gimana ya kalau kerja di gedung-gedung berlampu yang tinggi-tinggi banget itu?'

Haha. Ini terdengar norak atau mungkin kampungan, tapi, sepanjang umur, saya kerja di gedung yang paling tinggi itu cuma sampai lantai lima. Dan itu maksimal. Apalagi waktu saya sering banget main ke kantor teman di bilangan Sudirman, tahu gedung BCA, kan? iya, waktu saya nganggur cukup lama dulu, saya sering banget ngushusin diri cuma buat main kesana. Iya, cuma. Karena abis dari sana saya biasanya langsung pulang. Atau paling nggak ke gm kalau waktu masih cukup panjang.

Saya nggak tahu apa faedahnya sih waktu itu, tapi, saya kira saya cuma lagi bosan dan sedang butuh seseorang yang mau mendengarkan dan bisa ngobrol dengan saya yang kepala batu ini. Saya sudah terkenal dan mungkin sudah biasa mendengar berbagai label seperti kepala batu itu. Dan entah kenapa, sepertinya saya jadi mengamini labelan yang disematkan oleh orang-orang (khususnya keluarga) kepada saya.

Kayaknya sih, alam bawah sadar saya secara nggak sadar merekam seluruh label itu dan mentrasnfernya menjadi sebuah kepribadian. Mirip-mirip mestakung gitu lah. Hahaha. Nggak tahu sih ini teori berasal darimana, saya cuma merasa mungkin saja itu terjadi pada diri saya yang pemalu, lugu, dan nggak romantis ini.

Dan sekarang, saya beneran kerja di gedung yang nggak tahu punya berapa lantai ini. Saya sih sekarang berada di lantai 10. Saya nulis ini karena ini akan menjadi semacam tulisan perpisahan karena dalam seminggu ke depan, saya nggak akan ngantor disini lagi (aamiin).

Kenapa?

Kontrak saya nggak diperpanjang.

Terus, sedih nggak?

Sedih, sih. Malah aneh kan kalau ngerasa nggak sedih atau malah biasa aja (eh, tapi mungkin ada kali ya, yang begitu?). Tapi, mungkin bukan sedih yang gimana-gimana, ya. Lebih ke arah khawatir. Namanya manusia, wajar banget kan waktu mengalami segala sesuatu yang sifatnya dadakan, tentu kita nggak siap.

Memang seberapa dadakan?

7-10 hari lah mereka menginformasikannya. Sebenarnya curang juga, sih karena kalau karyawan diwajibin one month notice, eh, begitu perusahaan, mereka seperti lupa soal pertimbangan waktu ini. Masalah ini juga yang kayaknya belum ada di UU Ketenagakerjaan. Jadi, PR juga buat pemerintah buat masukkin pasal yang nggak cuma mengakomodir kepentingan pengusaha dan perusahaan, tapi mikirin kita-kita ini yang kerja dengan berbagai macam motivasi.

Ngomong-ngomong motivasi, saya juga nggak tahu sejak kapan, tapi rasanya saya sudah mengalami yang namanya demotivasi, deh. Hahaha. Ini ngomong nggak pakai emosi beraroma dendam atau gimana, ya. Kalau hanya sekadar jenuh atau bosan saja, sih biasa ya. Tapi, ini. Saya benar-benar bingung mau ngapain lagi.

Saya ngantor, digaji, tapi kok ya saya ngerasa saya cuma naruh badan saja disini. Sementara pikiran saya melanglang buana kemana-mana. Saya ngerasa nggak bisa kemana-mana. Mungkin itu salah saya, karena segala sesuatu yang menurut kita buruk kan memang karena perbuatan tangan kita sendiri. Kalau dulu-dulu saya sering nunjuk hidung siapapun di luar diri saya, belakangan ini rasanya saya lebih nyaman melihat ke dalam lebih dulu.

Ini pasti salah saya, atau minimal karena ketidakpedulian, ketidaktahuan dan ke-sok-an saya, atau yang lainnya. Dan percaya atau nggak, saya jadi jauh sedikit lebih tenang. Woles, cool, calm gitu, dan nggak dikit-dikit baperan sekalipun mungkin untuk tema-tema yang sedikit sensitif saya kadang masih bawa perasaan.

Normal sih, karena perempuan kan memang Alloh anugerahkan cenderung kesana, sementara lelaki di logika. Jadi, keputusan yang diambil perusahaan rasanya memang sudah tepat (insyaAlloh). Saya pernah melontarkan ingin keluar beberapa kali, dan terakhir-terakhir saya bicarakan dengan keluarga. Dan, entah bagaimana, Alloh kabulkan melalui jalan TIDAK DIPERPANJANG. Hahaha.

Maaf, kepsloknya kepencet (sengaja ditekan).

Alloh memang bekerja secara misterius, dan semuanya adalah kebaikan. Kadang, kita melihat segala sesuatu yang baik menurut Alloh buat kita itu sebagai sesuatu yang buruk, namun, Alloh itu tidak akan pernah mendzolimi hamba-Nya. Ini yang harus kita catat, pegang, dan yakini dengan iman. Bukan semata dengan logika.

Karena logika kita itu terbatas. Dan tidak semua bisa dijawab dengan logika. Tapi, soal rekomendasi siapa, Kemenag itu, menurut saya yang awam dan kurang ilmu ini, itu non-sens, sih. Walaupun saya juga nggak peduli-peduli amat sama isinya, hanya saja, rasanya selain #2019GantiPresiden, #2019 nanti kita perlu #2019GantiKemenag.

Ya, nggak sih?
 

Komentar

Postingan Populer