(Review) Buku Kambing dan Hujan Mahfud Ikhwan


Saya mengenal nama mahfud baru-baru saja. Itu pun lewat sosial media. Er, sebetulnya saya tidak terlalu ingat darimana saya mendapat nama itu. Yang pasti, nama lelaki kelahiran 80 ini makin sering dibincangkan sejak menjadi pemenang sayembara novel DKJ 2014 yang lalu. Dan, ya sebagai perempuan normal, saya kemudian tertarik untuk melihat seperti apa sosok lelaki pemilik blog yang membahas dua kutub yang berbeda; bola dan india. Jika tak percaya, mampir dan kunjungilah blog lelaki yang tak bisa lepas berafiliasi pada salah satu ormas, sekalipun ia berupaya keras untuk netral dalam bukunya yang akan sedikit saya bahas berikut. Kambing dan Hujan.

Baru kemarin saya menyelesaikan membaca Kambing dan Hujan, buku yang covernya tampak segar sekaligus memikat dan bikin haus. Saya rasa, bukan karena ini juri memilih Mahfud sebagai pemenang sayembara, tentu saja jikalaupun ya, saya rasa juri punya pertimbangannya sendiri mengenai mengapa sampul bisa berperan penting pada ketertarikan pembaca. Toh, bukankah kita sejak dulu sudah terbiasa dengan kalimat don't judge the book by its cover? yang menurut saya tidak akan pernah bisa saya lakukan (perihal buku, ya), karena pertama kali yang saya lihat dari sebuah buku setelah penulis dan penerbitnya, tentu saja kaver atau sampul bukunya. Buat saya ini penting karena buku yang punya kaver yang menarik mata akan membantu pembaca (saya) memasuki awal mood yang baik.  Semacam a good start before begin a new journey. Yah, semacam itulah.

Saya bahkan punya beberapa buku yang isinya biasa-biasa saja namun karena kavernya menarik tetap saya pertahankan di rak buku yang isinya bisa dihitung dengan jari (beberapa orang). Mengenai mengapa saya kemudian tertarik membaca buku ini tentu saja selain karena yang nulis lelaki (ehem) yang ternyata masih muda (walau berusia lebih tua dari saya beberapa tahun), punya blog (yang isi pikirannya bisa diakses kapan saja), punya sosial media (yang bisa disapa atau diajak diskusi), dan tulisannya enak dibaca.

Saya percaya saja jika Mahfud bilang di suatu wawancara bahwa buku ini ia tulis selama 9 tahun lamanya sebelum akhirnya dicetak dan diikutsertakan dalam sayembara novel DKJ yang kala itu gila-gilaan mepetnya. Saya suka semangat deadliners yang seperti ini, mungkin karena saya juga penyuka hal-hal yang berbau deadline ketat semacam ini. Tulisan-tulisan Mahfud yang renyah, ringan, membumi, dan terasa dekat dipengaruhi oleh cerita-cerita pendek yang ditulis Kuntowijoyo, seperti Hampir Sebuah Subversi dan Dilarang Mencintai Bunga-Bunga.

Ceritanya sebetulnya ringan saja, seperti kisah-kisah roman lain yang dibumbui konflik abadi yang terasa panjang dan tak berkesudahan. Yang membuat menarik Mahfud menggunakan NU dan Muhammadiyah sebagai latar cerita dari para tokoh utama yang saling bertikai dan diam-diam saling merindukan satu sama lain. Setelah serial Harry Potter, baru buku ini yang berhasil membuat saya membaca tanpa punya keinginana untuk meletakkan buku sama sekali (dalam hal ini saya membaca lewat layar telepon genggam /e-book yang saya dapat gratis saat datang ke sebuah acara).

Mahfud ringan saja, mengalir waktu menceritakan bagaimana menderitanya Yah, atau Fauzia yang tidak melihat adanya jalan untuk bisa bersama dengan lelaki yang dicintainya yang dulu bahkan sama sekali tak pernah dipikirkannya (meski sama-sama di Centong).  Atau bagaimana tenang namun gregetannya pihak lelaki, Miftahul Abrar yang ditengarai begitu berbeda dengan keluarga Fauzia meski memiliki keyakinan yang sama.

Saya jadi bisa melihat bagaimana cerita ini menjadi terasa dekat karena kita, saya rasa pernah mengalami hal yang serupa meski tak persis sama dengan apa yang dialami Fauzia dan Mif. Yah, persoalan cinta kadang tak selalu berjalan mulus seperti apa yang kita inginkan. Dan disini kelebihan Mahfud mengolah konflik bahwa cerita cinta itu ganjalannya bisa datang dari mana saja. Dan apalagi yang paling bikin gregetan, panas, deg-deg-an sekaligus  bikin susah makan, tidur dan lain sebagainya kalau ganjalan atau batu sandungan itu bila bukan datang dari keluarga sendiri.

Tidak seperti saat membaca Eka Kurniawan, M.Aan Mansyur (cerita pendek), saya merasa lebih santai dan bisa tertawa lepas bahkan memikirkan betapa bodohnya Is dan Mat yang  hingga memasuki usia senja masih saja begitu kokoh mempertahankan gengsi untuk memberi maaf (memaafkan) pihak yang mereka anggap berseberangan. Padahal, perbedaan itu memang dibuat untuk menunjukkan betapa kayanya Sang Maha Kuasa. Dan, buku ini sekaligus membuka mata bahwa apa yang tampak buruk bagi kita bisa jadi baik di mata Sang Pencipta. Masalahnya, apakah kita mau menerima dan melihatnya bukan dari kacamata nafsu semata?

Saya tidak akan menceritakan endingnya, namun, rasanya tidak diceritakan sekalipun mungkin sudah bisa ada yang menebak seperti apa akhir kisah cinta dua anak manusia yang berbeda namun sama ini. Selamat menikmati buku yang menurut saya layak layak memenangkan gelar pemenang sayembara novel DKJ.
 



















 








  
































   

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer