Short trip to Jogja (part 4)


Perjalanan ke Jogja kemarin sebetulnya bukan perjalanan yang direncanakan, dalam artian benar-benar direncanakan. Kalau pengin ke Jogjanya memang sudah sejak dulu kala. Qodarullah nggak ketemu timing yang pas. Sampai akhirnya libur lebaran, Firly mengabarkan kalau dia libur sampai tanggal 17.

Saya sendiri bisa dibilang tidak ada libur (panjang seperti orang-orang pada umumnya), alhamdulillah. Dapat libur itu satu hari, persis di hari Idul Fitri. Esoknya sudah harus masuk sekalipun cuma monitoring dan kontroling. Terus saya kepikiran kenapa kita nggak manfaatin waktu liburan si Firly, ya. Terus kan sudah lama kita punya wacana pengin kesana, kesitu, kemari yang nggak pernah ada realisasinya.

Hahaha.

Karena biasanya untuk bisa benar-benar jalan itu kan yang susah mas-sin waktunya. Apalagi kalau jalannya ngelibatin banyak orang, beugh. Wassalam. Nggak tahu kapan terwujudnya wacana-wacana maha besar itu.

Ya sudah. Firly sudah pasti libur sampai tanggal yang sudah ditentukan sekolahnya, tinggal saya. Alhamdulillah teman yang mengajukan cuti pertama sudah akan pulang minggu ini, jadi saya langsung start ambil cuti berikutnya. Nggak usah banyak-banyaklah, lima plus satu hari libur kayaknya cukup buat eksplor singkat Jogja. Lagian saya juga cuma penasaran sama goa pindul saja kemarin, err... sama hutan pinus yang kayaknya kok catchy banget gitu karena kabarnya sering dipakai buat foto-foto pre-wed.

Kalau kita bang, foto-fotonya nanti saja ya, abis akad (ajiye). Ok sip. Cuti approved, tiket sudah ditangan, tinggal cap cus. Matahari belum keluar dari peraduannya ketika saya menginjakkan kaki di stasiun Lempuyangan. Waktu sudah menunjukkan  hampir pukul enam saat itu. Mata saya membuka persis waktu kereta perlahan berhenti di stasiun yang biasa dijadikan tempat singgah selain stasiun Tugu (Yogyakarta).

Sebenarnya kalau mau langsung ke malioboro lebih dekat jika kita turun di stasiun Tugu. Masalahnya, saya dapat tiket yang berhenti di Lempuyangan, ac eko yang menurut saya sudah cukup bagus. Kereta berangkat (mataram premium) malah lebih bagus dari kereta pulang; bogowonto. Apapun, buat saya yang suka bolak balik toilet, kebersihan toilet jadi salah satu faktor yang cukup penting dalam perjalanan yang memakan 8-9 bahkan 10 jam berkereta.

Well, overall, sudah ada peningkatan baik dari segi pelayanan dan fisik kereta secara tiket kereta subsidi kabarnya akan kembali naik. Semoga sebanding ya dengan penyesuaian harga yang entah kapan diberlakukan.

nunggu Firly sambil sarapan nasi bekel dari rumah
Karena saya suka berkereta, saya jadi tidak keberatan menunggu Firly lama-lama di stasiun. Stasiun dan kereta membawa ingatan saya pada seorang penulis yang gemar menggunakan kereta dan stasiun sebagai latar belakang ceritanya, entah pendek atau panjang. Saya tidak tahu kabarnya sekarang. Saya harap ia baik saja seperti yang terakhir kali. Semoga.

Harusnya saya menyempatkan diri untuk mengelilingi stasiun ini, tapi, karena sudah lelah, setelah mengisi perut, saya hanya menghabiskan waktu dengan duduk. Asyik memandangi lalu lalang orang. Ada yang nampak santai, ada yang tergesa, ada yang tampak sibuk bicara dalam bahasa Jepang dengan seorang rekannya di telepon genggamnya yang (tampak) tua.

Lalu saya teringat telepon genggam saya low batt. Saya memasukkan kabel charger ke telepon dan menyambungkannya ke power bank karena saya harus standby mengingat kabar dari Firly yang sudah sampai di Jogja sejak kemarin siang belum juga tiba. Firly mampir ke Magelang dulu, menginap di rumah seorang kawan dekatnya dan baru kembali ke Jogja pagi ini, sekitar pukul enam lebih sedikit untuk bertemu saya di Lempuyangan.

Sekitar pukul delapan, barulah Firly mengabarkan kalau dia sudah sampai dan menunggu di pintu luar barat. Saya menutup telepon genggam, menghirup udara stasiun lama sebelum mengucapkan sayonara dan perlahan meninggalkan stasiun untuk melanjutkan perjalanan.

Firly datang dengan dua tas. Dan dia sudah berhasil membawa motor sejauh ini, (mungkin ini yang pertama kalinya) di Jogja yang dia book hasil dari rekomendasi adiknya yang kuliah di Jogja. Motor yang tidak diisi lebih dulu oleh pemiliknya itu kemudian kami sewa untuk tiga hari ke depan. Dan eksplor Jogja pun kami mulai dengan mencari pom bensin terdekat yang ternyata tidak bisa kami temukan di sini, melainkan harus menuju kota  dulu. 
 
Berbekal pengetahuan yang minim tentang kota Jogja, kami membelah kota yang anginnya begitu kencang menerpa di bulan Juli dengan perasaan bahagia tak terkira. Ini merupakan solo trip pertama kami.

Biar bagaimanapun, ini kali pertama saya dan Firly menjalani sebuah perjalanan luar kota secara bersama-sama. Kalau dalam kota sih, waktu Firly ke Jakarta kami sering pergi bersama. Tapi di luar kota, semuanya akan menjadi berbeda. Konon kabarnya, kita baru bisa mengetahui watak seseorang setelah melakukan safar bersama, meminjamkan uang, dan tinggal bersama dalam satu atap.   
 
Karena masih ada sisa-sisa masa libur lebaran, jalanan Jogja jadi mengingatkan saya akan Jakarta. Macet meskipun tidak di sepanjang jalan (kecuali dalam kota ya), kondisi jalan relatif ramai lancar. Masih bisa jalan, berhenti sesekali. Kami mencoba menikmati pemandangan (saya khususnya yang dibonceng) sisi kiri dan kanan Jogja yang dipenuhi bangunan-bangunan unik dan etnik.Atau sesuatu yang hijau, begitu segar dipandang mata.

Aah. Di Jakarta saya hanya bisa menemui yang hijau-hijau seperti ini di jalan baru, tak jauh dari rumah. Itu pun tak seberapa luasnya, tapi cukuplah sebagai pelepas penat tatkala menjumpainya.

Sambil memikirkan rute perjalanan hari ini, kami memutuskan untuk mencari penginapan lebih dulu. Kami menghabiskan waktu kurang lebih dua jam sebelum akhirnya melipir di Sosrowijayan (Hotel Indonesia) karena diberi tahu oleh seorang bapak-bapak waktu kami isi bensin eceran, kalau kami bisa mendapatkan kamar murah di sana.


Kamar Penuh

Saya memang pernah baca sekilas tentang penginapan ini, hanya sekilas. Sementara yang lain, saya sudah membaca beberapa reviewnya. Namun, bunk bed, yogya bnb tidak berhasil kami temukan karena kami kesulitan mencari jalan kesana (yogya bnb). Untuk bunk bed (tidak begitu jauh dari malioboro) hanya tersisa satu kamar (share dorm) isi 4 bed dengan kamar mandi luar.

Harganya masih mahal (95/bed), kata saya pada Firly. Kami tidak jadi mengambil bunk bed dan berjalan dengan gontai ke bawah dan berharap ada keajaiban yang terjadi. Waktu kami ke bunk bed kondisi Hotel Indonesia sudah full. Seluruh kamarnya sudah terisi. Saya sampaikan kalau ada yang check out kami mau mengambil satu kamar untuk dua orang.

Mas-nya mengerti. Sebetulnya, waktu kami sampai di sana masih ada satu kamar kosong. Saya lupa ini yang 105/80 ribu. Tak berapa lama, seorang wanita datang dan mengatakan bahwa ia telah lebih dulu (entah datang atau bookingnya) dan kamar tersebut kemudian tentu saja diberikan pada wanita itu.

Saya akan mereview Hotel Indonesia di post yang lain, ya. Kami memutuskan berkeliling Sosrowijayan dan tidak menemukan sedikit sreg dengan satu penginapan pun. Begitu ada yang kami rasa cocok di depan penginapan tersebut sudah ada tulisan 'kamar penuh'.

Kami keluar gang-gang kecil di Sosrowijayan, disapa pemilik penginapan yang menawarkan kamar yang masih tersedia yang kami tolak dengan mengucapkan terima kasih sambil berlalu. Saya tertawa, Firly juga dan harapan kami masih sama kalau di HI nanti ada tamu yang check out siang ini.

Dan alhamdulillah, memang ada tamu yang check out. Tapi kamar yang 105, kata mas-nya yang sabar melayani kami yang sudah speechless belum kunjung mendapat penginapan.

Kamar mandi dalam kan, ya?

Iya.

Ya udah. Kita ambil ya, mas.

Lalu Firly pun mengisi formulir dan saya menyerahkan ktp karena identitas Firly sudah diserahkan saat rentatl motor pagi tadi.

Tapi cuma bisa satu malam ya, mbak. Besok sudah ada yang book.

Kami berdua lalu saling melirik dan mengangguk. Soal besok biarlah menjadi misteri. Yang pasti kami bersyukur siang itu sudah mendapat kamar yang bisa langsung check-in, walau baru bisa masuk setelah jam 12 tapi nggak masalah juga karena kita memang mau langsung caw. Setelah menitipkan gembolan, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini kami memutuskan berkeliling dalam kota dulu saja sambil membuat rencana untuk esok hari.


Dalam kota cukup banyak tempat yang bisa didatangi, misal di sepanjang malioboro ini saja kita akan melewati pasar beringharjo, vredeburg (yang masuknya cuma bayar 3 ribu) sampai nol kilometer yang mana Firly belum kesampaian untuk foto di sana.

Fokus kita luar kota gitu, mana saja yang penting sampai. Haha. Random banget. Firly bahkan bawa motor ke tempat yang nggak ada di iten yang dibikinin mbak Eva (jazakillah khoiran mbak Eva). Jadi, kemarin itu Firly jalan based on plang. Alhamdulillah sampai juga di gunung api purba, dan malah endingnya jadi menyenangkan sih karena ternyata pas kita sampai di sana pengunjungnya kayak cuma 5 orang saja. Kami berdua, dua orang yang juga baru datang di depan kami, dan seorang mbak-mbak yang datang dan terlihat sendiri waktu kami pergi.

Tidak tahunya di dalam ada dua orang lagi yang sudah mau turun (ketemu di pos 1), 2 orang yang lagi break di gazebo dan 2 orang bule yang nyapa kita dan kita sapa balik dengan bahasa seadanya. Bulenya baru datang pas kita mau balik. Sayang banget.

pos 1-nya saja begini, gimana pos-pos berikutnya?



Jalur ke gunung api purba ini lumayan ekstrem. Kalau ke goa pindul ekstrem di jauhnya saja sih, tapi ada part pas mau dekat-dekat jalannya grajulan parah gitu. Alhamdulillah motor baik-baik saja setelah dari sana. Saran buat yang mau ke gunung api pakai outfit yang nyaman ya, yang ringan dan nggak terbang-terbang gitu biar nggak nyangkut pas naik turun di tangga atau bahkan kesandung batu.

Bawa minum sudah pasti, jaga kebersihan, manner sama partner kali, ya. Karena kalau naik sendirian pas dapat spot ok kan jadi nggak ada yang bisa motoin. Ini kita ke gunung api purba itu di hari ke dua, barengan sama puncak becici, goa pindul. Semua yang saya sebutin itu mostly ada di gunung kidul, dan itu jauh pakai banget. Must prepare banget deh kalau mau kesana. Minimal camilan sama minum karena kalau cape nyetir gitu bisa melipir sebentar sambil menikmati semilir angin dan memandangi indahnya ciptaan Alloh SWT yang ada di sepanjang jalan.  

Terus motor harus ditanya banget kondisinya karena kan mau dipakai jalan jauh gitu, jas hujan sama helm juga dipastiin kondisinya bagus karena kemarin saya dapat helm yang kondisinya kurang. Bensin dipenuhin saja karena kalau sudah masuk desa itu susah banget nemuin pom bensin, yang eceran juga jarang yang jual. Lain halnya kalau di kota, ya lumayan banyak.

Di Jogja itu adzan lebih cepat dari Jakarta, dan dia sudah panas even baru jam tujuh setengah delapan. Panas tapi anginnya kencang gitu, jadi panas dingin gitu gimana sih. Kalau di kota nggak sedingin kayak waktu saya stay di rumah teman di Bantul. Masih bisa mandi pagilah. Hahaha. Kalau waktu di Bantul, err... mandi sih. Sehari sekali >-< cukuplah.

bawa ban segede gini sendiri, dan..masih jauh nggak sih goa pindulnya?






 -- bersambung di postingan berikutnya, insyaAlloh --
 






Komentar

  1. wah sampai ber-part-part ceritanya. Pasti asyik ya mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah, seru mas. makasih sudah mampir, ya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer