Short trip to Jogja (part 2)

Sudah lama saya tidak mengalami rasa deg-deg-an, terlebih ketika berhadapan dengan layar komputer -- selain ketika deadlock dan deadline menjelang. Dan perasaan semacam ini, Alloh berikan kembali waktu saya kejar-kejaran dengan mas-mas di minimarket... ehm, tunggu. Maksud saya berkejaran dengan waktu yang terus berjalan seiring semakin berkurangnya tiket kereta api rute Ps.Senen-Lempuyangan dan arah sebaliknya.

"Book yang itu, mas. Cepet!" saya ngomongnya sih santai, cuma memang agak ditekan biar mas-nya juga bisa merasakan ketegangan yang sedang saya rasakan ketika begitu banyak hal yang bergelayut di benak saya saat itu.

Alhamdulillah. Setelah berjibaku beberapa lama dengan sistem yang lemotnya bikin adik lelah, tiket Lempuyangan-Ps.Senen berhasil diamankan mas minimarket yang berulangkali menanyakan no ktp dan no hp walaupun sudah diketiknya berkali-kali.

Payah kali adik, bang.

Selesai di print, langsung saja saya kasih mas-nya 350 ribu sesuai yang diminta dan langsung tancap gas. Sampai di sini saya lupa surat cuti saya sudah disetujui atau belum (atau bahkan sudah dikasih atau belum) karena pikiran saya sedang banyak cabangnya saat itu. Tiket sudah di tangan, alhamdulillah. Itenerary belum ada, tempat menginap gratis negatif karena kabar dari Firly soal ini belum juga tiba.

Terus, jadi jalan juga?

Alhamdulillah...


Nungguin, ya?

Jadi.

Nekat, ya? memang Jogja itu kota kecil apa? di sana belum tahu mau tidur dimana, mau kemana, bahkan bedain arah utara selatan barat sama timur saja saya tak bisa. Itu sempurnanya, yah, atau seninya dalam sebuah perjalanan, kata saya mencoba menghibur Firly dan tentu saja, diri saya sendiri.

Saya rasa saya memerlukannya.

Saya bukan tipe yang merasa harus selalu menyediakan kompas, peta, pisau lipat dan kawan-kawannya hanya agar semata perjalanan menjadi terasa lebih menenangkan. Tapi saya juga tidak sesembrono dan tidak sepedulian itu. Paling tidak, kami telah sepakat untuk jalan apa adanya, alias jalan minimalis dengan segala konsekuensinya.

Tanpa diucapkan, kami berdua sepakat untuk sharing cost karena biar bagaimanapun bersama itu membuat beban yang semula terasa memberatkan dada menjadi sedikit jauh lebih ringan dirasa. Itu sebabnya kenapa memilih partner perjalanan itu sangat penting karena kamu akan melalui hari-hari bersamanya, dimana kita jauh dari keluarga, jauh dari adik yang bisa kita minta jemput kapan saja, jauh dari papa yang bisa kita minta isikan pulsa, jauh dari mama yang bisa mijitin kapan saja pening menyapa.


Sampai sini saja, saya dibuat merenung betapa peran keluarga ternyata sangat besar. Betapa kita mungkin begitu sering meremehkan, menganggap adik atau kakak kita annoying karena suka banget minta dijemput tanpa peringatan lebih dulu. Suka menghabiskan makanan yang sudah kita simpan baik-baik di area yang paling remote dari kulkas kita yang isinya kebanyakkan belanjaan si mama.

Begitu jauh sedikit, saya jadi mewek. Meskipun tidak nangis bombay, tapi saya rasa saya jadi mengerti kenapa beberapa tahun belakangan ini saya lebih senang berada di rumah. Ok. Soal ini bisa kita bahas di lain kesempatan, ya. Semoga. Tidak janji juga.

Yang pasti, saya dan Firly sudah siap lahir batin untuk dilamar melakukan perjalanan singkat ke Jogja. Kenapa singkat? ya karena memang hanya tiga hari. Tiga malam. Setidaknya begitu yang tertera di tiket yang saya booking dadakan.

Kenapa Jogja?

Kenapa tidak? banyak alasan yang bisa kita buat kenapa kita harus datang ke Jogja. Salah satunya, mungkin kamu bisa menemukan jodohmu waktu lagi makan bubur ayam di malioboro atau waktu lagi asyik foto-foto di spot-spot favoritmu di sudut-sudut kota Jogja yang...

Romantis!

Apa yang terbayang di benakmu waktu mendengar Jogja?

Kalau mau tahu saya kemana saja, menginap di mana, menghabiskan berapa rupiah selama (tiga hari) di sana -- tungguin, ya. InsyaAlloh saya post di postingan berikutnya.

*s&k berlaku*











































Komentar

Postingan Populer