Dance for Two ; Menemukan kisahmu, kisah kita


Sudah lama saya tidak membaca novel. Saat mengunjungi perpustakaan pemprov DKI Jakarta beberapa hari yang lalu, saya melihat buku ini secara tidak sengaja di rak kesusastraan bersama dengan London-nya Windry R, Murjangkung-nya AS Laksana, beberapa karya Christian Simamora dan lainnya. Saya tidak tahu mengapa tangan saya akhirnya meraih buku ini setelah mata saya terpaku pada beberapa buku sebelumnya. Bisa jadi karena kavernya yang chic dan pilihan warna yang mengingatkan saya pada senja di Krakatau, saya memutuskan membaca bagian belakang buku.

Saya bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta pada sampul buku yang lucu, unik, dan sebagainya, meski terkadang saya tak bisa menafikkan betapa elemen pemilihan kaver memainkan peranan penting pada sebuah karya, terlebih novel yang notabene harus memenuhi selera pandang atau eye catching. Tujuannya tentu untuk memancing rasa ingin tahu, penasaran calon pembaca potensial, terlebih yang awam seperti saya, sebelum akhirnya memutuskan akan memasukkan buku tersebut ke dalam keranjang atau dikembalikan pada rak buku. 

Pada saat akan membeli buku, minimal saya harus melalui bagian belakang buku dulu, melihat apakah saya akan mendapatkan sesuatu jika saya masuk lebih dalam. Saya orang yang pemilih, I am, termasuk soal memilih pasangan karena buat saya yang harus menabung lebih dulu sebelum membeli sebuah buku, tentu saya tidak mau merasa menyesal kemudian ketika sampai di rumah, saya sudah harus merasa kecewa bahkan sebelum menghabiskan bab pertama. Buat saya itu menyedihkan. Menyedihkan untuk kantong saya, dan tentu, penulis buku yang karyanya telah berhasil membuat saya tertipu. Setidaknya itu yang saya rasakan beberapa kali. Saya bersyukur, saya sudah lupa bagaimana perasaan itu karena saya juga sudah lama tidak membeli buku (novel).

Novel yang terakhir kali saya beli itu Murjangkung-nya AS Laksana. Entah ini hanya perasaan saya atau bagaimana, saya merasa nyaman kala melahap buku-buku terbitan Gagas Media, penerbit yang juga menerbitkan Murjangkung. Walau saya hanya memiliki beberapa buku terbitan Gagas, saya sudah bisa mengidentifikasi gaya tulisan yang disenangi penerbit yang berhasil mengorbitkan penulis-penulis muda yang berbakat, seperti Tyas Effendi ini salah satunya.

Dance for Two. Karena kisahku adalah kisahmu yang hilang. Dari sini saja saya sudah merasa dekat dengan hanya membaca judul pada buku yang dicetak dua tahun yang lalu ini. Seperti saat menonton rangga dan cinta di AADC, saya seakan menemukan betapa kisah yang disajikan di film dan buku bisa saja dialami para penonton dan pembacanya. Karena saya pernah mengalami apa yang dikisahkan Tyas pada tokoh fiksinya. Caja dan lelaki pohon bernama Albizia. Menjadi secret admirer. Ha ha. Temanya sesimpel itu. Siapa pun saya rasa pernah mengalami masa ini. Dan Tyas mengemasnya dengan cukup baik.

Tidak pernah terpikir oleh saya bahwa nama Albizia Falcataria diambil dari salah satu jenis pohon penghasil kayu yang diklaim memiliki pertumbuhan tercepat di dunia (Wikipedia). Tidak aneh karena dara yang sudah menulis tiga novel ini merupakan pecinta pohon. Pecinta pohon? Saya pernah kenal seorang penulis yang mengaku sebagai pengamat kereta. Dan beberapa dari tulisannya memasukkan unsur perkeretaan yang juga sangat dekat pada keseharian kita. Buat saya ini jenius. Tidak mudah mengemas ide sederhana dan menyajikannya dengan cara yang sederhana pula. Tyas berhasil melakukannya.

Hanya saja, saya merasa masih kurang pada setting Kopenhagen-nya. Kurang Kopenhagen, begitu kira-kira. Saat membaca London, saya merasa penulisnya pasti pernah minimal pernah menghirup udara London yang semriwing. Cerita ini mengambil setting di Indonesia dan Kopenhagen.        

Meski alur ceritanya mudah ditebak, novel ini tetap layak baca, terlebih bagi yang ingin mengenang kisah kasih di SMA. Dan bagi yang tidak pernah mengalami dunia per-secret-admirer-an, ini buku yang pas untuk menuntaskan dahaga. 


     














 

 

Komentar

Postingan Populer