Workshop Cerpen Kompas 2015


Sebetulnya, dulu saya pesimis akan lolos dan memikat hati juri dengan dua cerpen yang saya kirimkan sebagai syarat yang diminta panitia workshop cerpen Kompas 2015. Dua cerpen yang saya kirimkan, meski sudah diterbitkan, saya rasa tidak sesuai dengan napas Kompas yang menurut saya berat. Jika Kompas mau ke Barat, saya ke Utara. Jika Kompas suka dengan naskah yang berbau muatan kearifan lokal, saya malah mengirimkan cerita roman picisan, sesuatu yang kini sudah tak pernah ditulis Linda Christanty. 

Kok berani, ya saya mengirimkan tulisan menye-menye ke koran sekelas Kompas? Saya sendiri tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Yang saya tahu, jika Kompas terbuka akan segala kemungkinan, termasuk akan mendapat kiriman berbagai macam jenis tulisan, maka saya masih punya peluang. Minimal 10% ada kemungkinan naskah saya dibaca oleh juri yang entah. 

Singkat cerita, setelah saya membaca dan membalas ala kadarnya, saya dihubungi beberapa kali dan baru terangkat pagi harinya. "Dengan Sigit dari Kompas, mbak. Ini dengan mbak Dewi, kan? tanya sebuah suara di ujung telepon. Saya mengangguk, tentu saja dia tahu nama saya karena nama saya mungkin ada di dalam daftar nama peserta yang lolos workshop cerpen. Itu kepedean saya saja sebetulnya. Ha ha. Lalu, saya baru tahu, ternyata Dewi yang dimaksud mas Sigit adalah salah satu panitia workshop yang punya nama yang sama dengan saya.

"Ha ha, saya pikir mbak Dewi Kompas," katanya seraya tertawa. 

Lalu, perbincangan pun saya arahkan pada alasan mengapa saya tiba-tiba terpilih, padahal, nama saya tidak tercantum di website kompas print. 30 peserta tertulis di sana. Sempat jiper begitu melihat daftar nama, ada Teguh Afandi di sana. Ya. Jujur, saya mudah sekali merasa terintimidasi dengan hal-hal semacam ini, yang mungkin saya sendiri yang menciptakannya.  Sementara nama-nama lain relatif asing buat saya. 

Dari mas Sigit kelak saya tahu, bahwa saya menggantikan peserta dari Bali yang sedang mengurus S3-nya di sana. Wah, saya tidak tahu harus merasa senang atau apa saat alasan itu dikemukakan. Yang jelas, nama saya kata mas Sigit lagi masuk sebagai list cadangan sehingga akan otomatis terpilih jika ada peserta yang tidak bisa mengikuti workshop dengan berbagai macam keperluan. 

Okelah. Sudah sampai di sini, masa iya saya mau mundur. Saya pun lalu menyiapkan diri, karena saya baru dihubungi dua hari sebelum workshop berlangsung. Tidak banyak, karena para peserta hanya diminta membawa komputer jinjing dan tidak datang terlambat selama workshop berlangsung. Yang pertama berhasil saya penuhi, sementara saya gagal pada syarat yang kedua. Ha ha. Saya terlambat sekitar 15-20 menit pada hari pertama penyelenggaran workshop. Sungguh memalukan. Saya tidak akan berdalih apa pun, karena saya memang berangkat cukup siang dan mendapat kereta yang datangnya lebih lama dari yang biasa. 

Mas Hilmi bilang di pesan singkat kalau Linda dan Seno sudah datang, dan acara sebentar lagi akan dimulai. Saya gugup, mempercepat langkah padahal saat itu sudah berada di Palmerah. Ternyata, setelah sampai baru ada mbak Linda yang duduk di pojok ruangan. 

Tak lama, workhsop pun dibuka mbak Ninuk, serta mbak Mira selaku perwakilan Kompas dan tak lama, mic diserahkan pada pemateri pertama, mbak Linda Christanty. Berhubung saya hanya punya Rahasia Selma, tak lupa saya membawa serta buku yang sudah mulai menguning itu untuk dibubuhi tanda tangan sang penulis.


Saya tidak akan membahas seluruh materi yang diberikan mbak Linda dan mas Seno, hanya intinya saja. Mbak Linda menuturkan resep bagaimana membuat tulisan yang baik, yaitu dengan tentu saja menulis, dan baru mengedit setelahnya. Sampai sini saya sudah merasa tersentil, karena saya kerap melakukan keduanya bersamaan. Sesuatu yang menurut mbak Linda kalau bisa dihindari meski kadang, ia juga masih melakukannya tanpa disadari. Ha ha. Penulis plus editor bagi naskah sendiri. 

Yang lain, mbak Linda bicara seputar teori menulis cerita, yang dimulai dari menentukan konflik, melakukan penokohan, sampai pada menentukan perubahan atau situasi akhir dari cerita (apakah itu klimaks/antiklimaks).

Mbak Linda juga sharing seputar pengalamannya membuat judul, yang dikatakannya tak ada rumus tersendiri. Kadang, beliau masih suka bingung saat giliran menentukan judul tiba, dan seringkali berakhir pada membuat judul yang itu-itu saja. Kalau tidak seekor burung, ya seekor anjing. Seperti cerpennya seekor anjing mati di bala murghab (2013) yang idenya ia tangkap dari pesan singkat seorang temannya.


Mengenai ide ini, mbak Linda berharap penulis dapat lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Kehidupan kita yang 24 jam sehari punya potensi diangkat menjadi sebuah tulisan.  Hanya saja memang tak semua cerita/ide bisa dituangkan menjadi tulisan. Di akhir sesi, mbak Linda meminta peserta membuat deskripsi (boleh memilih ingin menggambarkan orang/suasana), yang sayangnya tidak dibahas di hari kedua oleh Bli Can.

Sesi kedua, milik SGA yang membuat kejutan pada pembukaan dengan membacakan cerpen yang tidak pendek milik Rendra. Cerpen bersejarah buatnya karena ia belajar membuat cerpen dari tulisan Rendra yang bertajuk Ia sudah Bertualang. 

Usai membacakan cerpen yang memakan waktu kurang lebih 10 menit, SGA masuk pada ciri cerpen, yang menurutnya ada dua, yaitu; eksperimental, dan slow. Cerpen Rendra yang dibacakan SGA masuk ke dalam ciri kedua. 

Buat SGA, karya yang bagus itu bukan yang dipuji banyak orang, melainkan yang banyak diperbincangkan atau dengan kata lain kontroversi, seperti drama Tai Putu Wijaya yang dibuat karena keempetannya akan sesuatu.

Selama ini, saya hanya tahu SGA dari media. Saya jarang membaca tulisan-tulisannya. Saya juga baru tahu kalau beliau ternyata juga seorang wartawan. Ceritanya mengenai menulis dan jurnalis sempat membuat saya bernostalgia, karena saya pernah mencicipi dunia kuli tinta selama beberapa tahun. Seorang penulis yang pernah berhubungan via sosial media pernah bilang kalau cara saya berkomunikasi, mengingatkannya pada SGA. Dia pasti hanya membual. Ah, apa penulis laki-laki selalu begitu? 

Bagi SGA, tulisan yang bagus itu adalah tulisan yang memiliki kasus atau berbau hal-hal yang ironi. Sementara kunci pada karya sastra terletak pada sudut pandang. Yang membuat tulisan kita berbeda, adalah cara kita yang berbeda melihat dunia. Jika kita sudah bisa menguasai hal ini, yang lain menurut mas Seno akan mudah ditanggulangi. 

Sebelum sesi diakhiri, mas Seno mengajak peserta mengail ide dari gambar yang diberikan panitia. Lampu-lampu ruangan dimatikan, raut-raut wajah peserta langsung serius membayangkan cerita apa yang bisa dibuat dari gambar lelaki bercaping di sebuah sungai. 

Itu rangkuman kegiatan workshop hari pertama. Saat yang lain antusias foto bersama SGA atau mbak Linda, saya hanya mengambil gambar bersama Bli Can. Sosok bli sudah cukup lama saya ketahui. Beliau cukup aktif menjawab pertanyaan followernya di twitter mengenai cerpen Kompas. Selaku salah satu dari tiga editor yang menggawangi fiksi, bli ternyata juga disibuki mengeditori tulisan lain di koran Kompas. 

Workshop hari kedua diisi tak lain tak bukan oleh bli Can, yang tak pernah lepas dari topi dan semacam scarf di lehernya. Seperti Seno pada hari pertama, hari kedua bli mengenakan pakaian bernuansa hitam. Saya baru merasa sedikit hidup pada hari kedua karena bli cukup pandai membuat suasana menjadi cair dan ceria. 



Seperti sesi kemarin, bli mengajak peserta mengail ide dari melihat gambar-gambar yang disajikan. Bli juga sempat meminta peserta membuat sebuah tulisan dari observasi yang dilakukan di sekitar kediaman masing-masing peserta. Sementara yang menginap di hotel karena dari luar kota (sekitar 7 peserta) pergi ke pasar sekitar Palmerah untuk mencari bahan tulisan. 

Di awal sesi, bli meminta seluruh peserta untuk berdiri, lalu saling berhadapan dengan peserta di sisi kiri atau kanannya dan bersalaman. Setelah itu, peserta diminta untuk berjalan kemana saja, dan menyalami peserta yang lain sampai akhirnya bli meminta kami memilih satu peserta untuk dijadikan teman bercerita/diskusi. Kami cukup lama melakukan ini, memutar beberapa kali sampai akhirnya masing-masing peserta menemukan pasangan yang cocok/sreg untuk dijadikan partner. 

Saya memilih meka sebagai pasangan, karena saya melihat meka belum menemukan partner, jadi tidak ada salahnya walau saya belum merasakan click saat bersentuhan tangan dengannya. Bli lalu meminta kami saling bertanya satu sama lain, dan meminta kami untuk menceritakan apa yang kami ketahui tentang partner kami itu sebagai aku. Kami bertukar posisi. Aku menjadi Meka, dan Meka menjadi aku. 

Beberapa peserta yang beruntung mendapat hadiah dari Kompas pada akhir acara, dan tentu saja, tips bagaimana menulis cerita untuk bisa tembus koran selevel Kompas. Saya rasa ini yang selama ini ditunggu-tunggu peserta, meski saya yakin, masih banyak hal yang nyangkut di kepala saat workshop hari itu resmi diakhiri oleh panitia. 

Terakhir, seluruh peserta Jakarta cukup beruntung karena kami semua diundang untuk datang ke malam anugerah cerpen terbaik Kompas 2014 di Bentara Budaya. Sungguh kesempatan yang langka, dan dulu, pernah saya impikan kalau saya suatu hari bisa datang ke sana. Impian itu terwujud malam harinya. 

Saya pernah mengikuti workshop penulisan sebelumnya, dan tak pernah menemukan workshop sebaik yang diadakan Kompas tahun ini. Ini sebuah pencapaian yang menurut saya sangat jarang, karena saya tak pernah menyangka dapat bertatap muka dengan sang pemilik Hujan Bulan Juni, Sapardi Djoko Damono, dan Faisal Oddang, sang cerpenis terbaik versi Kompas tahun 2014. Tentu saja malam itu hadir juga penulis besar lain yang masuk sebagai finalis, seperti Agus Noor, TF Gus Sakai, Triyanto T, Budi Darma, hingga penulis muda berkualitas seperti Anggun Prameswari, Guntur Alam, dan Faisal Oddang yang cerpen pertamanya berhasil tembus dan meraih predikat juara. 

Lihatlah dunia dengan cara yang berbeda. Setelah itu, menulislah. 

Malam Anugerah Cerpen Kompas 2015

Anggun di depan ilustrasi cerpen bersama orang tua yang selalu mendukungnya   



sang pemenang, Faisal Oddang
salah satu peserta workshop bersama sang hujan bulan juni



Komentar

Postingan Populer