(sebuah) perpisahan













Satu hal yang tidak pernah terbersit dalam benakku adalah, perpisahan. Padahal, setiap pertemuan akan selalu diiringi dengan perpisahan. Pertemuan akan selalu berjalan beriringan dengan perpisahan. Aku sungguh tidak menyukai kata yang terdengar negatif itu. Di telinga dan pikiranku, kata itu terdengar begitu jahat. Kau tahu. Bagaimana mungkin seseorang yang sudah sekian belas tahun bersama pada akhirnya harus mengambil jalan sendiri-sendiri dengan alasan yang terdengar masuk akal (kala itu) sekali pun tidak diinginkan.

Kami sudah bersama sejak mereka masih sangat kecil. Sangat kecil. Dan, sekarang, akhir-akhir ini saya baru menyadari bahwa saya begitu merindukan kehadirannya. Segala hal tentang ke-annoyingan-nya yang beberapa bulan belakang membuat orang rumah semakin malas menyentuhnya. Ia semakin tak terurus, terlebih sejak pemilik sah-nya seakan tak lagi menganggapnya ada. Ini menyakitkan. Menyedihkan. Dan lebih menyedihkan saat aku berubah menjadi orang yang sama.

Padahal, aku pernah berjanji tidak akan melakukan hal yang sama. Aku mungkin orang yang paling cuek sedunia, tapi aku tidak bisa tidak memedulikan mereka yang telah ditelantarkan. Aku harus bilang ini, karena mereka terlihat semakin kurus dan tak terurus. Kucing-kucing itu tak dipedulikan adikku. Ia bahkan tak lagi memalingkan wajahnya saat memarkirkan motor di depan rumah, persis di depan rumah mereka saat hendak masuk ke dalam tiap kali pulang kerja.

Aku benci bicara masa lalu. Terlebih bila yang terjadi sekarang begitu berbeda dengan yang kemarin. Kenyataannya, tak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang. Itu sebabnya mengapa kita hanya bisa melihat ke belakang. Belajar dari apa yang sudah terjadi, apa yang didengar telinga, dilihat oleh mata, dan berusaha mengambil hikmah atas setiap kejadian, entah itu baik atau buruk dan mensyukurinya.

Hikmahnya, aku berharap mereka berada di rumah yang tepat. Disayangi, dipedulikan, diurus dan dirawat dengan baik, jauh lebih baik saat mereka masih ada di dalam rumah kami. Ndut dan mbul, dan satu anaknya sudah kami serahkan pada seorang saudara. Mereka kelihatan baik dan sayang pada kucing. Jadi, setidaknya aku tidak perlu khawatir kalau hal-hal buruk akan menimpa mereka.

Anak ndut, dari 4 kini hanya menyisakan 3. Yang satu tak lama menyusul saudaranya yang lebih dulu menghadap Ilahi. Aku meminta maaf atas kelalaian kami mengurus mereka. Mereka sudah sangat lama tidak dimandikan, beberapa hari tak ada makanan karena tak kunjung dibelikan makanan yang biasa. Alhamdulillah, kondisi 4 lainnya yang tersisa jauh lebih baik dari yang terakhir.

Beberapa waktu yang lalu, ibu memandikan mereka. Seperti yang sudah bisa ditebak, dua diantara mereka mengeong dan melakukan perlawanan yang cukup membuat ibu kewalahan. Sebuah goresan tertinggal di tangan mama oleh-oleh dari mbul junior yang memang aku tahu betul anti terhadap air. Dari yang lain, ia dan adiknya yang kecil yang paling sulit dimandikan.

Kami memutuskan untuk membelikan mereka makanan yang lain. Yang kami harapkan bisa mengisi perut mereka meski tak semewah makanan yang sebelumnya. Pagi itu, berbekal uang 10 ribu, ibu menyuruhku membeli ikan cue di warung yang cukup jauh dari rumah. Aku membelinya dengan perasaan campur aduk. Sepanjang perjalanan, bulir bening dan rekah senyum mengembang malu-malu dari bibirku. Sudah tiga hari makanan mereka habis.

Ini bulan puasa. Dalam keadaan normal, aku tahu seperti apa rasanya perut tidak diisi sedikit makanan pun. Kelak, aku juga baru tahu kalau air minum di tempat ndut dan mbul junior sudah kering. Kotor pula. Ya Rabb. Aku jahat sekali membiarkan mereka dalam keadaan seperti ini.

Sampai di warung, ikan yang kucari tak ada. Mbak wik bilang hanya ada ikan bandeng. Karena tak mengerti, aku pun membelinya. Dan benar saja, sampai rumah ibu menanyakan mengapa aku membeli ikan yang harganya jauh lebih mahal itu. Aku pikir daripada mereka tidak makan, apalah arti 7ribu. Lalu, ibu pun mengaduk ikan yang digoreng lebih dulu ke dalam nasi dingin sisa kami sahur. Memang tak banyak, tapi kuharap cukup untuk mereka berempat yang sedang membutuhkan asupan yang baik.

Membagi nasi itu ke dalam dua piring, perasaanku kembali teraduk. Selama ini, mereka biasa makan makanan mewah yang harganya cukup menguras kantong sampai akhirnya adikku menyerah, dan berhenti mengurus mereka karena tak kunjung ada yang membeli mereka. Ya. Kami berniat menjual beberapa karena mereka bertambah banyak. Awalnya dua, lalu empat, lalu delapan. Dan sekarang, tersisa empat yang aku harapkan kembali sehat dan segar.

Belum lagi aku sampai di depan rumah, mereka sudah mengengong seakan memanggilku untuk cepat-cepat memasukkan apa pun itu ke dalam rumah mereka. Tanganku bergetar saat membuka gembok, satu, aku memasukkan piring yang lebih kecil ke rumah adik mbul junior. Terakhir, aku dan keponakanku memberi mereka nama dana, dono, dini, dan danu untuk empat adik mbul junior. Sekarang tinggal dua, aku tidak tahu yang mana punya nama yang mana. Aku hanya memanggil mereka adik mbul junior karena akan kepanjangan sekali kalau aku memanggilnya dengan mbul junior junior.

Aku melakukan hal yang sama dengan kakak-kakak mereka yang badannya alhamdulillah tak sekurus ayah dan ibunya. Mereka masih gembul, dan ndut meski tak semontok yang kemarin. Aku tak bisa berhenti tertawa tiap kali mbul menyambutku dengan menyurukkan kepalanya kuat-kuat ke pintu rumahnya yang berkawat. Aku memintanya mundur dengan mendorong kepala mereka berdua ke dalam.

Oh. Mereka gigih sekali. Sekali aku mendorong, mereka menyurukkan badannya yang besar dua kali lebih kuat dari yang pertama. Dua saja sudah membuatku kewalahan seperti ini, apalagi 4, 5, dst. Ha ha. Mereka makan lahap sekali. Awalnya, karena masih baru, mereka menciumi nasi bersampul ikan bandeng itu hingga hidung mereka akrab dengan baunya. Setelah akrab, barulah mereka mulai memindahkan nasi ikan itu ke dalam perutnya.

Hari pertama ada yang tersisa dari mbul junior, sementara milik adik mereka relatif bersih. Yang lucu, adik mbul junior bulunya dipenuhi nasi. Hi hi. Aku dan ibu tertawa saat melihat bulu mereka yang panjang dan lebat dihiasi nasi-nasi putih berbau ikan.

Semoga kami bisa menjaga amanah Alloh ini sampai ada seseorang yang berhati malaikat mau merawat dan mengurus mereka dengan kasih sayang yang tak terhingga.

Aamiin.





Komentar

Postingan Populer