karena hidup (adalah) tentang berbagi

 















Bagi orang lain, menulis mungkin sesuatu yang terlihat sia-sia. Tidak jelas. Namun bagiku, menulis adalah segalanya. Menulis, adalah hidup itu sendiri. 

***

Ini sudah bulan ke sekian aku di rumah. Secara kasat mata, aku terlihat seperti pengacara. Pengangguran yang tidak banyak acara. Ha ha. Ya. Aku memang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sejak tahun lalu, aku memutuskan keluar sebelum didahului mantan bosku.

Setelah keluar dari sana, aku mendapat pekerjaan. Di sebuah radio di daerah Bekasi, namun hanya berlangsung beberapa bulan. Mungkin minggu. Entahlah. Aku sudah lupa. Yang pasti, sejak keluar dari kantor yang lama yang membuatku sempat sulit untuk move on, aku masih menulis. Masih melakukan pekerjaan yang sama seperti di kantor yang dulu, menulis, meski bukan menulis artikel. Setidaknya, aku merasa masih hidup karena Alloh masih memberiku kesempatan menulis.

Sebetulnya, aku merasa tak begitu produktif tahun ini. Jika dua tahun yang lalu beberapa cerpenku diterbitkan tak lama setelah kukirimkan, sekarang, semua berjalan terasa lambat. Aku memang tak banyak mengumbar naskah ke media cetak, dan oleh karenanya, aku berhenti untuk berharap lebih. Mengharap lebih dari apa yang telah aku usahakan.

Bukankah manusia akan mendapat apa yang telah ia usahakan? Dan semakin ke sini, aku merasa kadang sulit untuk menerima keadaan yang sedang kualami saat ini. Memang berat, terlebih permintaan ibu yang tak kunjung selesai agar aku segera mengakhiri masa sendiri.

Tapi, aku sedang tidak ingin membahas hal itu. Sekarang, izinkan aku untuk berbagi seputar pengalamanku menjadi seorang jurnalis. Pengalaman yang menurutku berharga, dan sangat langka, karena sudah lama aku mencita-citakan bisa berada di bidang ini. Menjadi seorang wartawan, reporter adalah cita-citaku yang kesekian setelah menjadi pebulu tangkis, penari, dan penyiar seperti gayung tak bersambut. Ha ha.

Yah. Itulah hidup. Jika kita terlalu mengejarnya, apa yang kita kejar akan berlari menjauh. Tidak seperti Alloh SWT yang semakin kita berjalan ke arahnya, Alloh akan berlari menuju kita. Ia tak terlihat, tapi ia sangat dekat, bahkan lebih dekat dari urat nadi kita sendiri. Jujur, di saat-saat seperti ini ingin sekali aku berusaha untuk memercayai bahwa apa yang sedang kualami saat ini adalah yang terbaik menurut-Nya.


Tulisan ini mungkin akan terbagi menjadi beberapa seri. Aku akan sharing seputar pengalamanku mewawancarai narasumber di tempatku bekerja dulu. Yang pertama, aku terjun ke sebuah tabloid yang membidik gaya hidup narasumber, yang dimulai dari artis, elit politik, sampai sosialita.

Kau tahu, aku pernah mewawancarai seorang sosialita yang dengan ringannya mengatakan dalam kesehariannya, ia mengenakan tas yang harga untuk satu tasnya Rp 250 juta. Tentu saja itu tas dengan merk sungguhan. Bukan kawe.  Untuk sepatu pun, ia memakai harga yang paling murah, sekitar Rp 3-6 juta. Tuhan, itu uang makanku selama beberapa bulan.

Aku juga mewawancarai narasumber yang irit sekali bicara. Ha ha. Dia termasuk salah satu narsum yang sudah lama kuincar karena aku cukup lama mengidolakannya sebagai seorang musisi jenius. Aku juga pernah mewawancarai seorang artis yang kini sudah menikah dengan pacarnya yang dulu tidak ingin diekspos kepada publik.

Saat mewawancarai seorang narsum, aku juga mengambil foto dengan seorang aktor kawakan yang kini telah berpulang ke haribaan-Nya yang saat itu sedang mengadakan pertemuan dengan narsumku.

Karena hidup hanya sekali, jadikanlah hidup ini berarti. 






Komentar

Postingan Populer