Grup WA (Sebuah Kepura-puraan Yang Ditutupi)

Kamu percaya sukses yang tertunda? entah kenapa kita menilai kesuksesan dari materi. Materialistis, katanya. Tapi waktu dibilang matre, kita tidak terima. Tragis. Biasanya kalau ngumpul, kita akan dengan sangat senang hati menceritakan apa yang sudah kita punya. Apa yang anak kita sudah berhasil beli, kumpulkan baik itu dengan susah payah atau secara mudah. Kita baru jarang bicara kalau barang yang kita punya hasil hadiah atau pemberian.

Yang seperti ini biasanya terjadi tiap kita kumpul-kumpul. Mau itu kumpul keluarga atau kumpul bocah. Ada tulisan Andina (yang katanya satir) soal betapa ributnya grup wa keluarga. Mau left takut dikutuk, kalau stay takut nambah dosa. Dilema. Saya left grup keluarga murni karena malas ikut dalam percakapan yang kadang suka kemana-mana. Saya lalu meminta kakak saya untuk membuat grup keluarga inti. Saya masih ada di sana karena memang tidak ada yang terjadi di sana.

Anehnya, begitu ada misal anggota keluarga yang share soal agama lantas diberi cap orang yang sholih, relijius dan oleh karenanya patut diberi acungan jempol sebanyak-banyaknya (entah tulus atau sindiran). Mengapa alergi sekali dengan agama? sebagai umat beragama, sudah sepatutnya bagi kita untuk terus belajar mencari ilmu agama.

Apa yang luput diajarkan sekolah bisa senantiasa kita temukan dalam agama (kalau saja kita mau mencari). Wa grup bak buah simalakama, yang ditelan mati, dibuang sayang. Saya melihat, wa grup itu isinya lebih kepada upaya kita untuk eksis. Sama halnya seperti sosial media lainnya, hanya saja lebih intens isinya (terlebih jika isinya kita kenal semua).

Kalau kamu ditanya kenapa sih ikut grup wa? alasan pertama yang sudah pasti klise, buat silaturahmi dong. Kapan lagi bisa ketemu teman lama kalau tidak di grup. Karena kalau ketemuan kan belum tentu semua bisa. Sekalipun bisa kopdar paling yang datang itu-itu saja. 4L! Sampai sekarang pun, kalau kopdar kita ngobrolnya atau ngumpulnya sama geng kita waktu sekolah, kuliah atau kerja. Ya lingkarannya jadi itu-itu juga. Tidak berkembang. Tapi, bukankah tujuan dibuatnya wa grup itu ya buat itu? buat mengeratkan hubungan para anggotanya? entahlah. Wallahua'lam.

Buat saya sendiri, wa grup tidak masalah selama isinya memberi faedah dan manfaat. Karena dengar-dengar ada grup yang kalau bapak-bapak sharingnya suka yang aneh-aneh, hal-hal yang berbau tidak senonoh padahal mereka sudah berkeluarga. Memang menjamin ya kalau orang yang sudah berkeluarga bebas dari ngobrolin yang begituan? tidak tahu juga, sih. Menarik kalau ada yang mau bikin risetnya.

Yang pasti, dengan adanya grup wa lantas reunian, ada yang celebek juga. Cinta lama belum usai. Lebih baik sih bawa keluarga yes kalau mau reunian buat yang sudah berkeluarga. Yah untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkanlah. Karena aneh saja ada suami teman yang reuni tapi katanya tidak boleh bawa keluarga. Memang ada reunian yang seperti itu?

Hal yang lain lagi, biasanya di grup wa itu isinya manis semua. Di belakang, wallahua'lam. Ada juga sih yang ribut terang-terangan di grup. Ada juga yang manis di muka, di belakang sama-sama ngomongin. Ghibah berjamaah. Yah, gimana yah bu ibu. Alasan ini juga salah satunya yang bikin saya malas stay di grup yang mostly tidak kondusif isinya.

Kita seakan berpura-pura akrab di sosial media, padahal aslinya kita mungkin saling tidak menyukai. Semuanya hanya panggung sandiwara. Kita semua aktor bagi cerita yang kita sendiri ciptakan.

Btw, kalian punya grup wa berapa?









Komentar

Postingan Populer