RPTRA, Perlukah Diteruskan Pembangunannya?

Yang sudah baca blog ini sejak awal, mungkin tahu ya kalau saya pernah bekerja sebagai pengelola di ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA).

Sebagai informasi, penerimaan pengelola saat itu saya dapatkan dari mulut ke mulut. Waktu itu saya tidak cek apakah ada informasi penerimaan pengelola secara resmi di website pemda DKI karena ini merupakan program pemda yang masih digawangi Ahok kala itu.

Kabarnya, Anies akan meneruskan program yang menurut saya kurang terencana ini. Kenapa? Jika pembangunan akan diteruskan 3-4 tahun mendatang, Anies harus memikirkan bagaimana RPTRA dapat beroperasi secara normal dan wajar.

Di zaman saya (saya resign tahun 2016), kebutuhan operasional itu ditanggung secara kolektif oleh pengelola. Kelurahan tidak punya dana misal hanya untuk sekadar mengurusi dapur kami.

Serba Sendiri

Air mati, kami panggil tukang sendiri. Rumput jika sudah tinggi kami potong sendiri (tentu saja alatnya kami beli sendiri). Kabarnya sempat ditemukan ular waktu warga diajak bebersih beberapa waktu yang lalu. Ibu saya kebetulan diminta ikut gotong royong saat itu.

Karena saat itu saya masuk di gelombang kedua atau ketiga RPTRA dibangun (sudah menggunakan APBD), tidak seperti tahun pertama yang memakai CSR, pembangunan RPTRA selanjutnya terkesan asal bangun (banyak namun secara kualitas buruk).

Waktu pembangunan memakan waktu cukup lama, dan baru beberapa bulan rampung, kerusakan fasilitas sudah kami temui. Misalnya saja lapangan futsal yang entah bahan apa yang dipakai sampai mudah sekali bompel.

Lalu, bagaimana dengan operasional sehari-hari? Pengelola mendapat upah UMR yang ditransfer oleh kelurahan (biasa awal bulan) dan most of the time terlambat. Ini sudah mereka informasikan sebelum kami masuk.

Urunan

Karena ada satu ruang yang diberi nama grossmart, pengelola diminta urunan untuk mengisi grossmart tersebut. Kami diminta berjualan dengan uang hasil urunan agar dapat membantu operasional kami sehari-hari.

6 pengelola dibutuhkan untuk mengisi 1 RPTRA dengan sistem kerja shifting. Ada RPTRA yang membuat jadwal yang harus disetujui lurah dulu. Sementara RPTRA tempat saya ditugaskan tidak melakukannya.

Sistem kerja shift ini juga perlu menjadi perhatian Gubernur DKI agar jadwal dapat dibuat secara adil dan merata. Belum lagi persoalan jam berapa pengelola harus datang setelah gerbang RPTRA dibuka (jam pelayanan 07.00-21.30).

Persoalan berikutnya adalah tidak adanya job desk yang jelas. Di buku panduan, memang ditemukan tugas serta tanggung jawab pengelola yang sayangnya kurang maksimal pada tahap implementasi.

Pekerjaan keseharian (piket) tidak jelas pembagiannya. Saat itu lebih kepada siapa ingin mengerjakan apa pada hari itu. Belum lagi soal jaga hingga malam hari. Sangat riskan terlebih bila perempuan yang dapat bagian shift siang.

Saya merasakannya. Saya lebih sering sendiri saat shift siang. Minimnya pencahayaan di RPTRA juga jalanan membuat suasana jaga malam terasa lebih menegangkan.

Apalagi RPTRA saya dekat kuburan. Well, tidak ada korelasinya sih selain memang riskan saja karena sudah sepi lepas maghrib di daerah kami.

Komposisi Jomplang

5 perempuan, 1 laki-laki. Itu komposisi RPTRA waktu saya masih tugas disana. Sekarang karena sudah ada mutasi, saya tidak tahu persis jumlah personel laki-laki apakah sama atau lebih banyak.

Komposisi yang jomplang ini otomatis membuat para perempuan harus bekerja ekstra keras.

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah pembuatan laporan yang dilakukan secara berkala (harian dan bulanan). Untuk yang harian, seperti PPSU, pengelola juga diwajibkan mengirimkan laporan via wa disertai foto2 selama bertugas (lebih eksis lebih baik). Laporan ini pun menjadi buah bibir di kalangan sesama pengelola.

Biasanya menjadi obrolan kalau ada yang mengirimkan laporan keesokan harinya dengan segudang alasan.

Yang memakan waktu juga menelan biaya yang tak sedikit itu bila kami harus menyerahkan laporan bulanan yang harus diketik dan di print (biaya kami tanggung sendiri jika harus dibendel rapi).

Belum lagi kami harus melayani staf kelurahan yang berkunjung (atau mengadakan acara rutin bulanan) atau tamu dari dinas terkait. Oh, birokrasi. Apa yang dapat saya katakan tentang ini?

Itu sedikit catatan yang semoga bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi gubernur terpilih dan juga mungkin bagi kamu yang tertarik untuk melamar menjadi pengelola, be prepare for it.

Terlepas dari berbagai kekurangan, RPTRA sepatutnya diperuntukkan bukan hanya untuk warga miskin di pemukiman padat penduduk yang miskin juga dalam kualitas pembangunannya.

Komentar

Postingan Populer