Habis Kuliah, Mau Kemana?

Tema ini sebenarnya menggelitik sudah cukup lama. Di Indonesia, pendidikan kita tidak menyiapkan kita untuk tumbuh menjadi manusia yang sesungguhnya. Pendidikan mahal, rekayasa data, kualitas guru serta kurikulum yang seperti tidak tahu mau dibawa kemana, membuat siswa seperti hanya dijejali huruf dan angka. Padahal, sekolah formal seharusnya bisa lebih dari itu. Saya kira, munculnya home schooling merupakan buah dari keresahan para orang tua akan sekolah-sekolah yang semakin kesini semakin tidak jelas arahnya.

Dulu, saya masih merasakan kesenangan saat mau berangkat ke sekolah. Walau buku yang harus dibawa sudah banyak, saya masih menantikan waktu pergi ke sekolah. Sekalipun teks book, guru-guru di zaman saya dulu tahu bagaimana harus mendeliver apa yang ada di dalam buku kepada murid-muridnya dengan cara yang menurut mereka paling baik.

Dan di setiap zaman, pasti ada yang namanya guru killer. Sekalipun begitu, guru killer itu tidak lantas membuat saya berpikir ulang untuk berangkat ke sekolah. Saya masih senang dengan pelajarannya dan tidak merasa khawatir akan dijatuhi hukuman ketika tidak bisa mengerjakan soal waktu disuruh maju mengerjakan soal di papan tulis. Walaupun jujur kekhawatiran bakal malu di depan cowok yang kita suka kalau masa iya tiap kali maju tidak berhasil memecahkan soal yang diberikan. Sounds cheesy? yeah, but it happened sometimes dan wajar banget kalau kita mengalaminya.

Saya sudah merasakan tekanan harus dapat rangking dari zaman sekolah dulu, dan sepertinya hal itu nggak berubah di zaman keponakan saya sekarang yang katanya sudah serba canggih. Belajar, ujung-ujungnya cuma gimana biar bisa dapat rangking, nilai yang tinggi yang nantinya bisa jadi kebanggaan buat diomongin di lingkungan sosial keluarga kita.

Buat saya, persoalan ini sangat serius karena murid mendapat tekanan dari berbagai sisi. Belum lagi kendala yang bisa kapanpun ditemui di sekolah. Kenapa sih kita harus dapat nilai tinggi? katanya sih, biar gampang diterima di dunia kerja. Saya nggak tahu, tapi, buat saya sendiri, rasanya agak sedikit picik kalau manusia hanya dinilai dari nilai di selembar ijazah. Emosional pun bisa diukur, I don't know how, but for me, setiap manusia itu masing-masing punya kelebihan dan keunikannya masing-masing.

Apa yang luput dilakukan sekolah adalah tidak adanya dukungan untuk memunculkan potensi ini. Menghafal segala macam nama, tanggal, tahun, bukan tidak penting, tapi, mengetahui latar belakang mengapa sebuah kejadian terjadi menurut saya jauh lebih penting daripada sekadar menghafal angka. Biasanya, kalau anak-anak yang jago matematika, biologi atau fisika, ilmu-ilmu alam gitu bakal mendapat cap anak jenius dan oleh karenanya berhak masuk ke kelas IPA. Well, itu salah satu dari sekian potensi yang bisa dimiliki setiap dari anak-anak kita.

Dan kadang, orang tua juga jadi rada gimana gitu kalau anaknya tidak memiliki kemampuan berhitung yang baik. Karena ada anak yang mathnya kurang, tapi jago main bolanya. Atau kemampuan musik atau olah tubuhnya di atas rata-rata anak-anak lainnya. Ini yang juga luput diperhatikan orang tua. Orang tua seperti mau menyamakan anaknya dengan anak-anak lain yang mereka ketahui referensinya karena ya memang contoh itu yang mereka temukan atau mereka dengar.

Maksud orang tua mungkin baik, tentu nggak ada orang tua normal yang mau menjerumuskan anaknya. Tapi, orang tua juga perlu belajar untuk melihat, menghargai, menerima, dan in the end mendukung potensi yang dimiliki sang anak. Bukannya malah memaksakan kehendak mereka karena misal, mereka belum sempat mewujudkan satu mimpi sehingga merasa wajib mewujudkan mimpi itu melalui sang anak.

Setiap ditanya terus habis kuliah mau kemana? pasti kita jawabnya kerja dong, ya. Jarang  yang menjawab secara gamblang atau jelas mau bikin ini atau mau buat itu karena kita memang tidak pernah diarahkan kesana baik oleh sekolah atau orang tua. Dan orang tua, biasanya menyerahkan segala sesuatunya kepada sekolah. Padahal, pendidikan itu tetap tanggung jawab dan main area dari tugas orang tua yang seabrek.

That's why menikah dan kemudian punya anak (jika dianugerahi Allah SWT) menjadi hal yang sangat tidak sepele. Tapi, memang tidak semua kita diciptakan untuk bisa membuka lapangan pekerjaan sendiri. Ada yang memang sudah dari lahir bakatnya menjadi karyawan, dan ada yang ditakdirkan garis tangannya untuk menjadi pemimpin.

Menarik mengetahui bahwa seorang sahabat yang sholehnya tentu tidak lagi diragukan, sangat tawadhu, tidak bisa berada pada posisi pemimpin karena dia lemah sebagai seorang pemimpin. Sementara ada sahabat yang dimanapun dia berada, dia hanya cocok menjadi pemimpin, bukan anak buah. Kesadaran ini yang ditumbuhkan rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam yang dengan sendirinya membuat para sahabat ini tahu dimana harus menempatkan diri.

Tentu mereka tidak sempurna, karena tidak ada manusia yang sempurna kecuali para nabi yang kesalahanya langsung dikoreksi Allah SWT (dan mendapat bimbingan langsung dari Allah), dan oleh karenanya menjadi sangat memungkinkan bagi kita untuk mencontoh mereka dalam kehidupan keseharian kita.

Jadi, sangatlah tidak mungkin jika kita memisahkan agama dari keseharian kehidupan kita, karena dasar atau pondasi dari hidup kita adalah agama. Agama yang membuat kita menjadi manusia yang punya nilai, punya adab, dan punya pemahaman yang didasari wahyu dari Rabbul 'Alamin.

Buat adik-adik yang mungkin membaca tulisan ini, lakukanlah apa yang menurut kalian paling baik untuk kalian juga keluarga. Karena satu, tidak semua orang bisa merasakan pendidikan hingga bangku kuliah. Serius, biaya pendidikan di Indonesia sangat tidak make sense. Kualitasnya pun semakin kesini semakin menurun. Itu sebabnya kenapa banyak dari kita yang berusaha mati-matian mengejar beasiswa ke luar negeri karena kita merasa pendidikan di luar punya sistem yang jauh lebih baik dan berkualitas dibanding pendidikan di dalam negeri. Itu sebabnya kenapa para elit juga suka plesir studi banding ke luar.

Sementara pendidikan di dalam negeri, kita masih struggling sebatas, keren mana anak-anak UI atau ITB? diskursus ih UI, pasti pinter deh, calon mantu idaman banget semacam ini yang bikin anak-anak di luar dari kampus-kampus itu merasa pupus sudah harapan hidupnya. Hahaha. Berlebihan? I don't think so. Tapi, kamu boleh tidak sepaham. Dan kita bisa diskusi lebih jauh soal ini. But, sorry saya tidak akan melayani kenyinyiran, siapapun anda di luar sana. 

Saya tidak bilang untuk kita tidak perlu mengejar beasiswa, go for it kalau memang itu dirasa berguna bagi kita. Karena faktanya, ada mereka-mereka yang kuliah di luar negeri dengan beasiswa menghasilkan sesuatu untuk negaranya setelah mereka kembali. Mungkin memang pendidikan itu belum ada dan bisa ditemui di Indonesia, atau mungkin saja sudah ada namun belum berkembang sehingga mereka harus langsung belajar dan mengambil pengalaman dari para pakar di bidangnya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang komprehensif. Ini tentu sangat baik.

Nabi pun diminta Allah untuk membaca sejak ayat pertama turun sekalipun berasal dari kaum yang ummi. Mau kuliah dimanapun, atau mau kuliah atau tidak jawabannya cuma Allah dan kita yang tahu. Dukungan dari keluarga, lingkungan terdekat itu sangat penting karena kalau bukan keluarga yang mendukung pilihan kita, siapa lagi? kalau kita tidak masuk disana, di luar sana bisa saja ada pihak-pihak yang siap menggantikan posisi lowong itu. Dan itu bisa saja dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang tidak mau anak kita tetap berada di jalan yang benar.

Saya sempat ngobrol sama anak yang baru lulus tahun lalu, dan masih merasa bingung mau melakukan apa setelah lulus karena satu, dia merasa dia kuliah di jurusan yang tidak dia senangi, kedua, kalaupun dia mau kerja, dia mau kerja di bidang yang di luar dari apa yang dia pelajari di kampus. Ini, kalau di interview beasiswa mungkin dibilang tidak linier, ya. Tapi, berapa banyak sih dari kita yang kerja sesuai dengan jurusan kita kuliah? saya sendiri pengalaman kerja saya tidak berhubungan secara langsung oleh jurusan waktu saya kuliah.

Saya termasuk yang salah jurusan, karena faktanya saya lebih suka bidang komunikasi massa dibanding public relations. I am not really good at facing people in crowd, dan itu juga mungkin yang menyebabkan mengapa saya tidak begitu suka politik. Tapi, kita melakukan politik hampir di setiap keseharian kita. Kita berpolitik di depan pasangan, dosen, bahkan teman. Lupakan tentang teman makan teman, tapi, kita bisa mulai membiasakan diri untuk tidak mengurusi dapur orang lain.
Dengan cara apa? matikan televisimu! well, kita bisa bahas ini di lain kesempatan, insyaalloh.

Adik-adik yang terkasih, jangan stres soal ini. Soal mau kuliah dimana, ambil jurusan apa, bicarakan saja dengan orang tua, keluarga, teman atau siapapun yang menurut kalian bisa kalian ajak bicara. Dan yang terpenting, kalian bisa mempercayai kalau orang itu menginginkan kebaikan untuk kita, bukan sebaliknya. Minta tolong sama Allah untuk menguatkan pilihan yang kita ambil, karena yang perlu kita pahami adalah, Allah tahu yang terbaik untuk hamba Nya.

Dan itu bisa sangat cocok dengan apa yang kita mau, atau sebaliknya. Bisa saja kejadian apa yang tidak kita suka tapi itu yang terbaik menurut Allah untuk kita, ask Allah guidance. Kalau sudah ada pilihan, minta tolong dan bantuan Allah untuk memantapkan hati, then go for it. Kejarlah apa yang kalian cita-citakan, dan semoga semua lelah kita adalah hanya untuk mendapat ridho Allah SWT semata. 

WAllahu ta'ala a'lam bisshawwab

 





Komentar

Postingan Populer