Catatan (Pendek) untuk Cania

Tulisan ini, kurang lebih masih sedikit terkait dengan tulisan saya sebelumnya. Kita belum akan membahas seputar jomblo yang kayaknya tidak akan pernah habis buat diobrolin. Rasanya mbak itu perlu dicerahkan sedikit. Terlebih karena si mbak itu juga punya keyakinan yang berbeda yang saya nggak akan pernah masuk kesana. Namun, sayangnya si mbak ini menurut saya sudah bicara terlalu jauh mengenai apa yang mungkin tidak ia yakini sebagai sebuah kebenaran.

Yang kita baca dan kita lihat juga dengar sehari-hari itu memberikan dampak yang begitu besar dalam hidup kita. Tidak salah kalau ada ungkapan yang mengatakan we are what we eat, hear, and see. Mungkin itu juga yang membuat si mbak itu menjadi sosok yang sedikit kontroversial seperti sekarang ini. Mau menjadi seliberal apapun itu murni hak si mbaknya. Ini menjadi hak saya juga untuk bicara dari sudut pandang apa yang saya yakini benar.

Mungkin kita bisa mulai dengan tidak memusuhi apa yang tidak kita ketahui. Walaupun itu sunnatulloh, hendaknya kita bijak untuk mencari tahu sesuatu sebelum kita mengeluarkan opini atau pendapat dari sumber yang shohih.

Anak-anak muda kita seperti sedang didekati untuk diberikan pemahaman yang keluar dari pemahaman agama yang diturunkan melalui wahyu kepada para nabi. Coba kita bayangkan bagaimana orang di luar dari Islam berbicara seputar kekerasan atau ketidaksetaraan gender yang diklaim sumbernya dari Al Qur'an, sementara yang bersangkutan tidak memercayai keshohihan dari firman Alloh tersebut.

Ini saja sungguh sulit untuk dimengerti. Mbak ini seperti sedang berusaha mengobok-obok (menafsirkan sendiri) Al Qur'an sesuai dengan keinginan atau hawa nafsunya dengan melempar sebuah pertanyaan yang seakan meminta kita untuk mengkritisi, bagaimana jika? ini berandai-andai namanya, dan berandai-andai dalam Islam itu membuka pintu bagi setan. Ini berbahaya karena kita sebagai manusia yang lemah akan terus mempertanyakan setiap kejadian yang terjadi yang di luar dari kekuasaan kita sebagai seorang hamba.

Mengenai ketidaksetaraan gender (khas feminis), rasanya salah alamat kalau hal itu disematkan kepada Islam, karena saya sendiri sebagai seorang muslimah tidak merasa teropresi dengan baik itu perintah maupun larangan Alloh SWT. Kenapa si mbaknya dan mungkin bersama kelompok atau jaringannya sibuk mengurusi muslimah sementara muslimahnya sendiri tidak merasakan apa yang terus menerus mereka teriakkan.

Kalau itu hanya digaungkan di kalangan mereka saja, silakan. Namun, akan berbeda halnya bila sudah dibawa ke ranah publik, karena ia akan menjadi sebuah diskursus yang sudah pasti terhubung oleh berbagai pihak. Sayangnya, mungkin mbak ini tidak merasa sebagai seorang hamba, kita sama sekali tidak layak untuk membandingkan Al Qur'an dengan pemikiran manusia (misal feminisme atau tokoh-tokoh yang dianggap progresif namun masih menyematkan Islam di depannya) karena Al-Qur'an itu bukan karangan manusia. Dia wahyu yang sudah selesai (final) dan diturunkan oleh final messenger yaitu baginda nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam.

Saya mengerti mengapa si mbak ini bisa sampai pada pemikiran seperti itu dan oleh karenanya jadi tidak aneh dengan apa yang disuarakannya. Namun, perkataan "kita harus menyingkirkan orang-orang yang tidak paham dengan apa yang dia yakini" itu menurut saya sangat berbahaya dan terkesan arogan. Kalau seorang manusia benar melakukan perjalanan mencari iman, tentu saja saya yakin nafsu pribadi akan berusaha ia tekan sebisa mungkin, kalau memang tujuannya mencari sebenarnya jawaban. Seperti Ustadz Felix Siauw atau Ustadzah Irena Handono, misalnya.

Dan ini pun tidak bisa kita tafsir sendiri ya, mbak. Itu sebabnya mengapa ada yang disebut namanya riwayat yang bersambung langsung kepada nabi shalallahu alaihi wa sallam. Mencari kebenaran itu pun ada ilmunya. Saran saya, mungkin mbak bisa belajar dulu atau silakan kalau mau berdiskusi tentang Islam (Syiah bukan Islam) secara mendalam dan komprehensif dengan pakar sejarah Islam, seperti Ustadz Budi Ashari atau Ustadz Tiar Bachtiar. Boleh juga dengan Ustadz Adian Husaini atau Ustadz Bachtiar Nasir. Monggo.

Jika sudah, mungkin saja pemikiran mbak akan sedikit terbuka dan bisa menerima fakta bahwa akal manusia itu terbatas, mau sepintar apapun dia. Anda tentu tidak bisa serta merta mengatakan kalau seseorang mengimani sebuah iman dengan benar akan membuat orang tersebut jauh dari yang namanya merasa paling benar sendiri. Well, buat saya dengan mengatakan ini sebenarnya anda sudah secara tidak langsung menempatkan diri anda pada posisi tersebut.

Rasanya wajar jika ada seseorang yang meyakini sebuah ideologi dan menganggap bahwa keyakinannya itu adalah yang paling benar, dan ini tidak bisa dikritisi karena siapa yang dapat menafsirkan kalau hal ini dapat membuat seseorang menjadi intoleran? sungguh keji sekali jika kita mengeluarkan kata intoleran kepada orang-orang yang berjalan teguh di atas agamanya. Berjalan teguh tidak sama dengan merasa paling benar sendiri.

Beragama ini dilindungi oleh Undang-Undang. Dan perlu diketahui, Undang-Undang itu produk buatan manusia yang jauh dari kata sempurna. Alhamdulillah, UU kita didasari pada falsafah Ketuhanan yang Maha Esa yang mana ini mengakui bahwa ada norma-norma, etika serta budaya yang nafasnya didasari oleh panduan dari Sang Maha Pencipta.

Kata Islamophobia itu tidak akan muncul kalau saja kita mau mencari tahu seperti apa wajah Islam yang sesungguhnya. Yang perlu diketahui mbak, Islam itu sempurna namun tidak dengan muslim. Jadi, kalaupun mbak mau membangun sebuah kritik, silakan dibicarakan pada tataran manusianya dalam mempraktekkan ajarannya misal, Islam kalau yang mau dibincangkan Islam. Sama halnya dengan agama lain, saya kira.

Pada akhirnya, diskursus tentang rasionalitas dan dikotomi religi akan berakhir dengan sendirinya karena muslim tidak mengedepankan akal sebelum Al Qur'an dan hadits nabi shalallahu alaihi wa sallam.

Wallahu ta'ala a'lam bisshawwab










   

Komentar

Postingan Populer