Saatnya Suami Mengeluh Pada Istri

Kisah ini, saya ambil dari blog yang diasuh Ustadz Budi Ashari hafidzahulloh, parenting nabawiyah. Semoga dapat memberi kita ibroh dan menerangkan rumah tangga kita dunia akhirat, aamiin insyaallohu ta'ala.


Judul di atas tidak terbalik sama sekali. Kita tidak sedang membahas tentang istri yang mengadu dan mengeluh kepada suami. Karena yang ingin meringankan himpitan tugas tak hanya istri. Tetapi juga suami.
Saat itu tiba, bagaimana sikap istri. Dan apa sebenarnya yang ingin didapatkan oleh suami. Dan apa pula pelajaran di balik ketegaran suami yang ternyata masih perlu bentangan lembut tempat mencurahkan segala keluhan.
Hal itu, pernah dilakukan oleh suami terbaik. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Saat itu sudah memasuki bulan terakhir di Tahun 6H. Muslimin berjumlah 1400 orang, langsung dipimpin oleh Rasulullah berangkat keluar Madinah menuju ke Mekah. Bukan untuk perang atau menyerang Mekah. Tetapi untuk membuktikan mimpi Nabi dalam tidurnya bahwa muslimin memasuki Kota Mekah untuk ibadah dengan tenang tanpa gangguan. Tentu ini merupakan kabar gembira bagi seluruh muslimin yang merindukan kiblat mereka.
Tetapi ternyata, mimpi Nabi tidak terbukti tahun itu dan baru terbukti tahun berikutnya. Nabi tidak salah, karena beliau tidak menyebut kapan mimpi tersebut akan terbukti. Muslimin dicegat oleh Quraisy di luar Kota Mekah, tepatnya di Hudaibiyyah. Muslimin tidak bisa memasuki Mekah untuk melaksanakan umroh.
Muslimin kecewa. Kekecewaan mereka bertambah besar begitu mengetahui isi perjanjian antara Nabi dan Quraisy yang secara kasat mata dimenangkan oleh Quraisy.
Umar bin Khattab salah seorang yang kecewa, mengisahkan hal tersebut.  Sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Bukhari, Sunan Abu Dawud, Musnad Ahmad, Dalail Al Baihaqi, Mushonnaf Abdurrazzaq dan lainnya.
Setelah Nabi selesai dari membuat perjanjian dengan Quraisy, beliau berkata kepada para shahabat: Bangun, sembelihlah ternak yang kalian bawa kemudian tahallullah(bercukur sebagai tanda selesainya ibadah umroh).
Tidak ada satupun shahabat yang bergerak.
Karena mereka berharap masih bisa memasuki kota Mekah dan tahallul setelah benar-benar melakukan umroh. Mereka kecewa.
Nabi mengulanginya lagi.
Kembali tidak satupun shahabat yang menyambut perintah Nabi.
Untuk ketiga kalinya Nabi mengeluarkan perintah.
Dan ternyata hingga kali ketiga pun, tidak seorangpun yang berdiri melaksanakan perintah Nabi. Ya, tidak seorang pun.
Pasti Nabi terkejut luar biasa. Karena shahabat Nabi, adalah orang yang sangat ingin melaksanakan semua perintah Nabi. Bahkan, sesuatu yang belum diperintah pun bisa mereka kerjakan saat mereka memahami Nabi hanya dengan gerak tubuh dan mimik wajah Rasul. Tetapi tidak untuk kali ini.
Kekecewaan memang bukan hal yang sederhana.
Tapi untuk Nabi, jelas hal ini mengagetkan. Tiga kali perintah, tanpa sambutan. Tidak seorang pun. Tidak shahabat biasa, tidak pula shahabat senior dan terbaik.
Kekecewaan bertemu dengan kekecewaan.
Nabi tidak punya solusi. Memang sesuatu yang sangat mengejutkan sering membuntukan pikiran.
Bahkan sekelas Rasul sekalipun.
Guratan wajah kecewa tidak bisa disembunyikannya. Di lapangan masalah itu hadir. Tidak ada jalan lain kecuali kembali ke tempat peraduan beliau. Siapa tahu solusi itu ada di sana. Ya, istrinya.
Saat itu istri yang dibawa adalah Ummu Salamah radhiallahu anha. Nabi masuk ke tenda istrinya sambil bergumam sangat kecewa,
Celakalah muslimun. Aku perintahkan mereka untuk menyembelih dan bercukur tetapi tidak melaksanakan.”
Dalam riwayat lain, Nabi berkata kepada Ummu Salamah,
Tidakkah kamu melihat orang-orang yang aku perintahkan itu tetapi tidak ada yang melakukannya. Padahal mereka mendengar perkataanku dan melihat wajahku!”
Jelas ini merupakan rangkaian kalimat kekecewaan. Hingga keluar dari Nabi kalimat yang bahkan menurut Ummu Salamah perlu dikoreksi,
“Ya Rasulullah, jangan engkau caci mereka. Karena mereka sedang terhantam kekecewaan yang besar atas kesulitan yang kau alami dalam perjanjian damai dan mereka akan pulang tanpa hasil (ibadah umroh).
Ya Nabiyyalloh, keluarlah. Jangan bicara dengan siapapun hingga kau sembelih binatangmu. Kemudian panggillah tukang cukurmu untuk mencukurmu
.”
Peluang solusi kini hadir. Dari istri untuk suami hebat yang sedang buntu. Ummu Salamah tidak memperkeruh suasana. Ummu Salamah tidak berkata, “Apa mereka tidak tahu kalau engkau Rasul yang harus ditaati?” Ummu Salamah tidak justru membakar hati suami yang sedang gundah dengan berkata, “Mereka memang celaka...”
Tidak. Tetapi Ummu Salamah adalah istri yang tenang dan penuh wibawa. Dia justru mengingatkan suami yang merupakan orang besar itu dalam kalimatnya, “Ya Rasulullah, jangan engkau caci mereka.
Sebelum istri memberikan solusi, koreksi terhadap kesalahan tetap dilakukan jika hal itu terjadi. Karena mencaci bukan solusi. Hanya menambah keruhnya jiwa. Dan awan di hati semakin menggelayut tebal.
Ummu Salamah mencoba untuk memahamkan suaminya mengapa mereka melakukan hal mengecewakan tersebut, “Karena mereka sedang terhantam kekecewaan yang besar atas kesulitan yang kau alami dalam perjanjian damai dan mereka akan pulang tanpa hasil (ibadah umroh).
Setelah tugas pertama selesai, istri cerdas dan tenang itu memberi setitik pelita solusi, “Ya Nabiyyalloh, keluarlah. Jangan bicara dengan siapapun hingga kau sembelih binatangmu. Kemudian panggillah tukang cukurmu untuk mencukurmu.
Rasul tidak punya pilihan solusi lain. Kecuali yang datang dari hati tenang seorang istri yang cerdas. Tetapi seberapa ampuh solusi itu?
Umar bin Khattab menceritakan,
Rasul shallallahu alaihi wasallam keluar sambil menyingsingkan bajunya. Beliau mengambil alat pemotong dan memotong binatang sembelihannya dengan mengangkat suaranya: Bismillah, wallahu Akbar. Setelah itu, beliau meminta tukang cukurnya untuk mencukur beliau.
Melihat hal itu, muslimin pun berlomba untuk menyembelih binatang mereka dan saling berdesakan hingga hampir saling melukai di antara mereka. Kemudian saling mencukur di antara mereka
.
Subhanallah, ide sang istri benar-benar jitu.
Setelah membaca peristiwa ini, berhentilah untuk berpikir bahwa suami hebat tidak perlu tempat mengadu, apalagi ‘hanya’ kepada seorang istri. Sehebat apapun para suami, mereka hanya laki-laki yang tak lengkap jiwanya tanpa sentuhan ketenangan dan kelembutan wanita.
Bagi para istri, jadilah tempat mengadu yang nyaman bagi suami. Hitunglah Anda tidak mempunyai solusi bagi suami, tetapi setidaknya Anda telah meringankan beban di kepala dan kegundahan di hati suami.
Apalagi jika Anda bisa menjadi seperti Ummu Salamah.
Subhanalloh…alangkah istimewanya…

Komentar

Postingan Populer