Perkebunan sebagai pemerdekaan atau penjajahan?

Cuaca ketika saya berangkat ke Cilandak tiga hari lalu masih sama panasnya seperti pagi ini. Pergi ke daerah yang kita tidak paham betul petanya tentu bukan sebuah pekerjaan yang mudah, meskipun tidak sesulit menemukan jarum di dalam jerami. Toh, akhirnya setelah tanya sana sini saya sampai juga di Menara 165 yang terletak di Jl. TB. Simatupang, Cilandak, Jakarta Selatan.

Ruangan Gibraltar baru diisi beberapa orang saja ketika saya sampai, disambut seorang perempuan paruh baya dari media perkebunan dan dua orang perempuan muda yang mengawal meja registrasi. Tampaknya ini menjadi pengalaman pertama saya datang ke acara serius karena tamu-tamu yang kemudian berdatangan kalau bukan pakar di bidang pertanian dan perkebunan, pastilah minimal meletek dalam dunia pertanian dan perkebunan, yang menjadi tema acara hari ini; launching dan bedah buku kumpulan pemikiran Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, Perkebunan Pemerdekaan Indonesia.

Secara khusus, buku ini mempertanyakan mengenai adakah modernisasi perkebunan berimplikasi pada pembangunan, meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan mayoritas pemangku ekonomi pedesaan, dan lainnya atau malah sebaliknya?

Menurut MT Felix Sitorus yang juga menjadi pembicara dalam diskusi dan bedah buku, Pakpahan telah mengajukan sebuah tesis yang sangat menantang, dan kurang lebih sejajar dengan tesis modernisasi tanpa pembangunan, saat meneropong struktur sosial ekonomi perkebunan kita, yaitu perkebunan sebagai pemerdekaan.

Sepintas, tesis ini melawan persepsi umum yang mengukuhkan tesis perkebunan sebagai penjajahan tersebab sejarah perkebunan modern di Indonesia memang dimulai dari tonggak perkebunan sebagai (wujud) penjajahan (sistem tanam paksa/cultuurstelsel) yang diinisiasi J. van de Bosch tahun 1830.

Fakta-fakta historis sistem tanam paksa dan sistem liberal mengukuhkan tesis perkebunan sebagai penjajahan. Introduksi dan perluasan sistem perekbunan modern yang bersifat kapitalistik di Hindia Belanda telah menciptakan struktur plantokrasi yang eksploitatif, sehingga pertumbuhan perkebunan modern bukannya meningkatkan kesejahteraan rakyat pedesaan tetapi menimbulkan kemiskinan struktural. Inilah yang menjadi dasar kesimpulan adanya gejala modernisasi tanpa pembangunan di sektor perkebunan dalam masa itu.

Tesis ini, menurut Felix merupakan skema revolusi perkebunan yang ditawarkan Pakpahan dari sistem akumulatif yang melestarikan kemiskinan struktural ke sistem distributif yang mempromosikan kemakmuran bersama. Idealnya, menurut Pakpahan perkebunan menjadi wahana sekaligus proses pemerdekaan bangsa dari kemiskinan, yang menurut Pakpahan dapat terwujud apabila melepaskan diri dari karakteristik blueprint perkebunan kolonial, yakni:
  1. Pemihakan pemerintah terhadap perusahaan besar melalui fasilitasi HGU jangka panjang dan penyediaan jaringan infrastruktur khususnya transportasi.
  2. Pemosisian ekspor komoditi primer atau produk antara sebagai prioritas utama sehingga industri pengolahan/manufaktur di dalam negeri kurang berkembang; dan
  3. Pelestarian sistem ekonomi ganda yaitu sektor perkebunan modern (kapitalis kaya) dan sektor pertanian pangan/kebun rakyat post-tradisional (subsisten/komersil miskin) yang berjalan di jalur masing-masing, tanpa suatu keterkaitan integratif yang signifikan. 
Sayangnya, bagi saya yang awam, diskusi dan bedah buku ini bagai sayur tanpa garam tanpa kehadiran petani dan pihak dari pemerintah aktif yang tentu saja diharapkan dapat mendengar isi pemikiran dari penulis buku yang juga pernah mencicipi duduk di bangku pemerintahan.


Komentar

Postingan Populer