Review AADC2

Saya tidak tahu apakah akan me-review Cantik Itu Luka nya Eka Kurniawan yang sudah saya selesaikan beberapa waktu yang lalu. Saya sudah cukup lama suka dengan Aan Mansyur. Suka dengan karyanya (tentu saja) yang bisa juga dengan mudah ditemukan beberapa diantaranya di rumahnya di huruf kecil, entah sejak kapan.

Mungkin juga saya jatuh (cinta) dengan profilnya yang tampak biasa, sedikit pemalu, namun cerdas luar biasa. Dan yang jauh lebih penting, Aan terlihat low profile disaat dia bisa berbusung dada karena namanya kini semakin melambung (berkat karya-nya yang menusuk kalbu). Dan salah satu alasan mengapa saya akhirnya pergi ke bioskop, mengantri tiket di loket bioskop Arion yang kini tersisa satu saja (dan karenanya antrian menjadi cukup panjang) adalah karena Miles Production naksir pada puisi Aan yang kelak digunakan di film fenomenal Ada Apa dengan Cinta.

Harus diakui Mirles punya penciuman yang kuat bahwa puisi Aan bisa dipakai untuk mendukung cerita AADC2 yang sudah dinanti terlebih sejak iklan Line keluar yang juga menjadi pembicaraan di berbagai kalangan. Meskipun pada akhirnya hanya (di bagian) puisi Aan (dibacakan) yang berhasil membuat saya meremang.

Terasa betul puisi di AADC2 hanya sekadar sebagai tempelan, tidak melebur atau bahkan menjadi penggerak cerita seperti bagaimana ia diperlakukan di AADC arahan Rudi Soedjarwo yang menurut saya baik secara keseluruhan (tentu saja kecuali adegan terakhir di bandara).

Riri Riza, entah bagaimana, kurang berhasil menyajikan cerita yang sama baiknya dengan yang pertama. Dialognya terasa hambar, terlampau pendek dari satu adegan ke adegan lain, dan bergerak terlalu cepat di beberapa scene. Dan Rangga saya rasakan bukan seperti Rangga yang dulu karena sekarang, seperti yang dikatakan Cinta kalau Rangga sudah mulai bisa bokis (bukan gombal?), dan memaksa Cinta (secara halus) untuk menuruti keinginannya mengulang masa lalu.

Yang juga cukup disayangkan adalah absennya Ladya Alya Cheryl ditutup perannya dengan kematian, meskipun itu tentu saja sangat masuk akal dan manusiawi. Manusia bergerak, tumbuh, dan tentu saja setelah 14 tahun berlalu, tokoh-tokoh AADC tidak mungkin tidak mengalami perubahan baik secara karakter, maupun penampilan.

Sebagai kompromi hilangnya tokoh Alya, Karmen menggantikan peran Alya yang dulu suka diam-diam memperhatikan Cinta dari kejauhan. Tanpa Cinta mengeluarkan suara, Alya seperti mengerti apa yang sedang membuat Cinta gulana, dan seperti itu jugalah posisi Karmen di AADC2.

Satu-satunya tokoh yang membuat cerita hidup adalah tokoh Milly (dan Maura), yang cukup berhasil membawa keceriaan di ruang bioskop meskipun tak lama. Dan, ya, cukup surprising juga karena Milly disatukan dengan Mamet yang dulu notabene penggemar Cinta garis keras.

Yang patut dipertanyakan mungkin adalah akhir cerita yang bisa dengan mudah ditebak karena saya kira Mirles bukan tidak tahu bahwa sejak AADC, para penonton kala itu menginginkan mereka bisa bersama. Masalahnya terletak pada tidak elegannya cara Cinta kembali pada pelukan Rangga.

Saya hanya membayangkan bagaimana jika ada penonton yang dulu menonton AADC, berstatus seperti Cinta atau Rangga kemudian mengambil keputusan yang sama (karena terinspirasi atau yang lainnya) dengan apa yang mereka lakukan, karena sebuah karya bisa secara langsung ataupun tidak mempengaruhi para penikmatnya.

Atau untuk generasi lebih muda kemudian membayangkan betapa indahnya bila bisa berada pada keadaan yang sama dengan apa yang dialami Cinta. Oh, sungguh, sebetulnya adegan ciuman itu tidak diperlukan karena tidak akan mempengaruhi alur cerita. Saya cukup terganggu dengan ini karena film ini bisa dikonsumsi oleh anak-anak SMA atau bahkan SMP atau bahkan lebih muda dari itu. Dan pada umur-umur segitu, kita lebih sering meniru, lebih-lebih bila kita sudah mengidolakan aktor atau siapa pun itu.

Saya kira sensor film harus lebih bekerja keras untuk tidak meloloskan adegan-adegan yang bisa membawa dampak kurang baik pada penonton, atau memperketat usia penonton. Duh, serius banget mbak sampai segitunya? ya, tentu saja serius karena sebuah karya yang sudah siap dilempar ke publik juga tidak begitu saja terbebas atau lepas dari konsekuensi atau efek yang kemudian timbul karenanya.

Do we even care (or think) about it? 

Saya masih percaya pada hal ini karena saya ingat betul saat menonton AADC dulu saya jadi kepingin punya pacar seperti Rangga (Rangga ya, bukan Nicho) meski pada beberapa sisi, Rangga tidaklah sesempurna seperti yang dielu-elukan kaum hawa. Atau betapa beruntungnya jika saya bisa menjadi seperti Cinta yang hidupnya digambarkan begitu sempurna dan oleh karenanya ia disukai oleh banyak pria.  

Film ini saya kira dibuat untuk memenuhi ekspektasi penonton. Lalu, scene mana yang bikin kalian baper (abis)?

Kalau saya ini







Komentar

  1. satu scene saat berada di pepermoon puppets theater bener2 buat saya meneteskn air mata..apalagi saat Rangga bilang "Pasti dia udah kaya raya dari kecil yah"

    BalasHapus
    Balasan
    1. hmm, typical rangga banget ya,synical tapi tetap aja mengejutkan.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer