Kemana Perginya Waktu?






Nggak kerasa, ya ramadan sudah memasuki detik-detik terakhir. Jujur, waktu lagi blogwalking dan nemu blog ini http://www.beyourselfwoman.com/, saya tersentak saat membaca sebuah kalimat yang ditulis di sana. Kemana perginya waktu?

Time flies so fast. Begitu cepat sampai saya kadang suka nggak nyadar kalau umur semakin bertambah, dan jatah hidup di dunia semakin berkurang, sementara apa? sementara saya masih belum mencapai apa pun yang bisa membanggakan keluarga di rumah. Terlebih mama :(

Kadang, suka nyesek sendiri waktu lihat betapa orang-orang hebat yang secara nggak sengaja saya temukan di sosial media seperti memiliki hidup yang terlihat begitu sempurna (di mata saya) sudah melanglang jauh ke negeri orang. Misalnya saja seperti mbak Icha, ibu satu anak yang memilih untuk menjadi full time mother yang tinggal di Norwegia.  Atau pak Ibrahim, yang baru kemarin saya add setelah melihat betapa luar biasa pencapaian beliau bersama istri yang saat ini tinggal di Sevilla, Spanyol. Atau mbak Siti Maryamah, yang punya talenta menulis sangat apik, namun lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di dunia nyata bersama anak-anak tercintanya ketimbang ngendonin dunia maya (kecuali untuk urusan perbakulan), dan lainnya.

Masih banyak sebetulnya sosok-sosok yang secara nggak sengaja menginspirasi dan membuat semangat saya kembali bergejolak, meski lebih sering fluktuatif dikarenakan satu dan banyak hal *sigh* kalau dipikir-pikir, dilihat sepintas rumput tetangga memang kelihatan lebih hijau, ya dibanding rumput sendiri. Wong kita sibuk merhatiin kebahagiaan orang, di saat kita seharusnya lebih banyak bersyukur atas apa yang Alloh percayakan pada kita.

Seperti sosok seleb sosmed macam mbak Jihan Davincka, misalnya. Ibu kece yang satu ini, sih memang sengaja memposting segala hal yang berbau bahagia bukan karena kepengin dibilang, "mbak, hidupnya kok kayaknya happy-happy terus, sih. Rahasianya apa?" ha ha. Mahmud yang satu ini pernah bilang memang nggak mau mosting cerita gegalauan, sedih itulah itulah yang kayaknya bakal lebih banyak mengandung mudharat ketimbang maslahatnya. Padahal, yah dibalik kehidupan mereka yang like almost perfect itu, pasti ada sepercik dua percik *tsah* masalah yang menghadang keluarga kecil mereka. Begitu juga keluarga yang lainnya.

Every family has their own problem that only can be solved by them. Walau kelihatannya sama, tapi masalah yang menimpa setiap anak adam itu sebetulnya berbeda, karena memang Alloh sudah mendesainnya seperti itu. Alloh itu maha baik, sangat baik, kadang kita yang suka nggak sabar dan nggak mau ngerti karena berusaha memaksakan kehendak kita. Padahal, apa yang menurut kita baik belum tentu baik menurut Alloh, gitu juga sebaliknya.

Yah, tapi kan kita tetap dong boleh punya harapan, impian? ya, nggak ada yang melarang juga untuk bermimpi. Seperti sahabat Rosul, beberapa dari mereka ada yang bermimpi tinggi, sangat tinggi, ada yang ingin bisa berdampingan dengan nabi sampai di syurga, ada yang ingin memiliki istri yang dapat membawanya ke syurga (cmiiw), dan banyak yang lainnya.

Saya sendiri dulu pernah bercita-cita ingin menjadi penyiar. Setelah lulus dari kampus yang katanya kampus seleb *rees*, saya malah bingung dan nggak tahu mau kemana.  Pucuk dicinta ulam pun tiba, nggak lama saya mendapat panggilan untuk magang di sebuah radio yang meminta saya menjalani masa probation selama kurang lebih 3/6 bulan (saya lupa persisnya) sebelum direkrut sebagai penyiar.

Duh, emen *eh* niat saya sebagai sarjana muda yang sudah punya mindset kelar kuliah bisa langsung kerja, ya emoh dong, ya ditawarin yang begituan.  Saya kan sudah mengantongi sertifikat dari kampus tenar itu, masa iya, sih cuma sampai di probation sekian lama tanpa honor pula? *glek* (nggaya rek)

Sombong benar, ya, kesannya :D kayak yang cumlaude gimana, gitu. Padahal, bisa lulus dari kampus juga alhamdulillah. Nggak kayak Dian Sastro yang S2-nya cumlaude dengan status ibu beranak 2. Gimana nggak makin banyak yang patah hati coba gegara mamah muda kece ini sudah ada yang punya?  bahkan, cowok-cowok yang katanya menggilai Raisya aja sudah harus menyiapkan stock tisu yang banyak karena mereka harus bersaing dengan cowoknya neng Raisya yang nggak kalah kecenya dibanding doski?

Ha ha. Kok jadi kesana, sih. Yah, ga papa lah ya, sekali-sekali (ngeles). Finally, setelah nyoba berapa lama di radio, saya akhirnya mutusin keluar juga karena ada tawaran bekerja di sebuah perusahaan telco. Outsource gitu, dan waktu itu gajinya jauh banget dari standar kelayakan hidup di Jakarta. Tapi, sampai sekarang kadang masih suka nemuin, sih perusahaan yang menggaji karyawan seenak keningnya. Padahal, kalau memang karyawan itu pantas untuk dihargai lebih, kenapa perusahaan dengan mudahnya melepas tenaga potensial itu, dan malah memilih fresh graduate yang bisa dibayar murah.

Setelah kerja di telco yang lantainya berpuluh-puluh itu, saya mulai merasa nggak kerasan karena alasan-alasan klise yang mungkin saya ciptakan sendiri. Entahlah. Saya pun akhirnya resign di bulan ke 7 dan masuk ke sebuah bank swasta sebagai call center. S1 komunikasi kerjanya call center? nggak ada yang matanya terbelalak, kan seperti beberapa orang di sini he he.

Serius, meski kerjaan saya waktu itu cuma terima telpon untuk dimarahin, dikomplain sama nasabah, tapi entah kenapa somehow saya merasa bahagia bisa menjadi bagian tim bank tersebut. Mungkin karena suasananya yang akrab dan kekeluargaan, dan saya serasa menemukan rumah baru, karena di batch saya (which is perempuan semua dan seumuran), saya jadi punya banyak teman baru untuk berbagi suka dan duka.

Saya melalui masa-masa indah, tawa, dan bahagia selama kurang lebih 2 tahun, sebelum akhirnya memutuskan pindah karena setelah mereka merger, kantor disatukan lebih jauh ke Kebon Jeruk sana (sebelumnya di mampang). Nah, dari sini, hidup saya seakan dilemparkan 360 derajat karena takdir membawa saya masuk ke dunia yang dulu sempat saya idam-idamkan di jaman kuliah. Jurnalis. Bukan broadcast, sih, tapi mirip-mirip dunia dan environmentnya.

Setelah masuk di sini, saya mulai menemukan kegairahan untuk menulis, meski tulisan saya di sana tidak bagus-bagus amat, tapi lumayan-lah ada yang diterbitkan juga setelah melalui proses editing yang sangat panjang dan lama. Ha ha ha *colek Heni, Endros, Yohan*

Drama banget pas kerja di sini. Ha ha. Alhamdulillah, nggak lama, nggak sampai setahun saya angkat bendera, dan masuk ke kantor yang terakhir (sebuah media besar) dan bertahan dua tahun lamanya. Selepas dari sini, saya masih betah menangguk gelar pengacara dengan segambreng cemoohan yang datang dari keluarga. Kalimat cemoohan kok terdengar sedikit kejam, ya, yah, macam nggak support gitulah kurang lebih.

Selama hampir setahun (kurang beberapa bulan lagi), saya mencoba flash back, memahami apa hikmah yang coba Alloh titipkan pada setiap episode kehidupan yang saya lalui selama 31 tahun ini. Sepertinya, saya terlalu sering menyia-nyiakan kesempatan yang datang, dengan tidak memberikan yang terbaik sampai akhirnya saya ditegur dengan hikmah, saya bisa menemani dan membantu (dengan tenaga) keluarga di rumah.

Terlebih saat papa sudah merasa nggak nyaman dengan pandangannya yang semakin kabur, papa pun akhirnya minta dioperasi setelah dipastikan memiliki katarak. Alhamdulillah operasi berjalan lancar, sudah dua kali kontrol, dan masih akan melalui proses kontrol lagi setelah lebaran. Doakan lancar, ya, teman, dan bisa sehat seperti sedia kala. Aamiin...

Orang yang paling bahagia itu bukan yang memiliki segalanya, melainkan yang paling bisa bersyukur atas karunia yang diberikan padanya.

We owe nothing in this temporary world, while we still believe that we can be happy forever with things what we called 'mine'.















































































Komentar

Postingan Populer