segala yang pertama selalu istimewa





"Kamu yang berangkat ngeliput, ya. Ke sini, sama ke sini." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir semacam korlip di kantor sebelum saya resign dan melamar menjadi pengacara. Saya cukup kaget menerima perintah meliput acara raker perusahaan bergengsi itu, karena satu saya anak ingusan, anak kemarin sore yang baru masuk belum ada dua bulan. Lalu, perintah liputan ke luar kota itu datang begitu saja, padahal masih ada beberapa senior yang jauh lebih gape dan pengalaman dibanding saya. Memang, mereka semua juga kedapatan meliput karena event raker selain di dalam, juga digelar di luar kota. Mereka semua kebagian, ada yang hanya satu, ada yang dua, sama seperti saya.

Dan karena alasan yang sama, saya jadi tidak bisa menolak titah resmi itu jika saya tidak mau didepak sebelum waktunya. Berbekal kepercayaan diri yang semoga tidak membuat saya mendongakkan kepala dan kucuran dana dinas dari kantor *bhik*, saya mulai memikirkan apa langkah selanjutnya yang harus saya lakukan.

Seorang teman memulai dengan memberitahu saya untuk membuat list barang apa saja yang perlu saya bawa selama dua hari di sana. Hah? Saya cuma akan berada di sana satu malam dua hari, bukan satu minggu, kenapa harus bikin list segala? Saya tidak menanyakan pertanyaan itu tentu saja, karena jika saya tanya, teman saya itu bisa dipastikan urung membantu saya membuat list. Makasih, ya, mbak chia. Dimana pun kamu berada, I really appreciate your help. Kertas yang ditulis mbak chia itu bahkan sempat saya simpan sampai terakhir kali, waktu saya membuka box lama, saya tidak lagi dapat menemukannya. Mungkin sudah hilang, atau terbawa angin. Entahlah.

Berkat kertas itu, perjalanan dinas saya ke Batam bisa dibilang lancar. Sangat lancar, malah. Batam. Hmm. Meski tidak sepanas Balikpapan, angin di kota yang dekat dengan Singapura ini terasa menyejukkan saat menyambut saya di bandara Hang Nadim. Mama, akhirnya anakmu ini bisa naik pesawat, Garuda pula, dan kini, kakinya telah dipilih Alloh untuk menginjak bandara kebanggan warga Batam T__T


Senja telah tanggal ketika saya dan klien sampai di bandara. Dengan tergesa, kami berjalan cepat (saya di belakang) karena sudah ditunggu sopir kantor cabang Batam yang sudah menunggu di luar. Laiknya bandara, mata saya langsung menangkap pemandangan lazim para sopir taksi yang begitu sabar menanti calon penumpang yang baru turun dari pesawat. Untungnya, karena saya hanya membawa satu ransel dan tidak saya masukkan ke dalam bagasi, saya tidak perlu mengantri lebih lama (kecuali klien yang bawaannya sudah seperti orang mau pulang kampung) *piss*

Saya menghirup udara malam Batam dalam-dalam, menolehkan kepala ke sisi kiri dan kanan, dan berusaha merekam apa yang ditangkap indera saya. Malam itu semakin terasa syahdu, karena di sepanjang jalan, di dalam mobil yang pendinginnya kelewat dingin, saya melihat pemandangan kota Batam malam hari (lampu-lampu jalan dan kunang-kunang) yang tentu saja tidak bisa saya resapi keindahannya, karena hanya ada lampu-lampu penerang jalan dan yang berasal dari kendaraan lain.

Saya jadi tidak bisa melakukan apa-apa karena klien lebih memilih duduk bersama saya di bangku penumpang. Well, klien yang satu ini memang seakan tidak ingin jauh dari saya. Terbukti, saat perjalanan dinas ke Balikpapan, dia kembali meminta saya menemaninya meliput raker. Saya jadi merasa tidak enak, dan sempat lempar-lemparan dengan seorang teman yang sudah pergi meliput ke Papua dan Raja Ampat. Seharusnya, kita bertukar tempat, yud. Ha ha.

Tanpa banyak bicara, pak sopir yang ramah dan baik hati karena selalu tersenyum, langsung membawa kami menuju hotel, tempat di mana kami akan beristirahat selama satu malam sekaligus sebagai lokasi berlangsungnya raker.
mas-mas reseption yang siap memberi kami kunci kamar
Lokasi hotel ternyata tidak jauh dari bandara. Kurang dari satu jam, kami sudah sampai di hotel haris, dan disambut dengan senyuman oleh panitia acara yang malam itu kompak mengenakan kerudung biru. Setelah menuliskan nama kami di meja registrasi di depan pintu masuk, kami langsung menuju resepsionis untuk mendapatkan kunci. Sebelum naik lift dan menuju kamar, saya sempat mengagumi lobby hotel haris yang bernuansa orange. Sungguh menyegarkan mata. Entah karena sugesti atau apa, saya langsung menelan ludah, dan merasa haus hingga harus cepat-cepat menemukan kamar untuk kemudian menegak segelas atau beberapa gelas air putih.


Lampu koridor hotel yang temaram, bikin saya pengin cepat-cepat masuk, dan melempar badan ke atas kasur serta memeluk guling. Sebenarnya, saya rindu memeluk guling yang bisa saya ajak diskusi, ngobrol ngalor ngidul dari gelap sampai matahari terbit di ufuk timur. Ah, saya tidak tahu kapan keinginan itu akan terwujud. Yang pasti, malam itu, ketika mata saya akhirnya terpejam, saya menuturkan doa penuh harap bahwa saya bisa tidur satu kamar bukan dengan klien, tapi dengan seseorang yang mau tumbuh, berbagi, dan menjalani hidup apa adanya hingga sampai ke syurga-Nya Alloh.

Aamiin aamiin ya robbal'alamiin...

Saya harus segera tidur, karena besok acara dimulai pagi-pagi sekali. Saya tidak boleh terlambat jika tidak ingin membuat klien tersayang saya yang satu itu mencak-mencak dan meninggikan suaranya.

Apa kabar kamu, mbak?



 


Komentar

Postingan Populer