I Love You, Bu Guru

(pict : google)
Pertanyaan ini saya pikir nggak pernah muncul waktu saya masih ngajar di salah satu pre school di bilangan Jakarta Utara. Sebut saja Kelapa Gading, namanya. Atau mungkin pernah tapi nggak pernah saya seriusi, saya anggap angin lalu sampai akhirnya selayaknya yang sudah berlalu, hilang begitu saja. Sampai kemudian, pertanyaan ini sedikit menggelitik karena pertama, saya belum dan mungkin nggak akan berminat nonton aadc2 (kecuali ditraktir dkk) sehingga belum bisa dan mungkin nggak akan me review-nya, kedua saya pengin nulis tapi belum tahu mau nulis apa.

*deep sigh*

Menjadi guru pre school bukanlah cita-cita yang saya bangun sedari kecil. Kalau sekarang ditanya apa cita-cita saya waktu kecil saya akan menjawab dengan lantang dan yakin kalau dulu itu saya pengin banget jadi kayak Mia Audina. Iya, saya itu dulu pengin banget nepok-nepok kok di lapangan dan ditonton banyak orang.

Sepertinya darah olahraga itu mengalir deras di tubuh saya karena mama saya memang seorang atlet sejati. Memang tingkatnya cuma lokal saja, jawara di rumah dan sekitarnya, tapi jangan main-main kalau sudah main voli atau badminton sama beliau kalau nggak mau dibuat bertekuk lutut.

Ini nggak lebay, serius. Teman-teman nyokab itu kalau nyokab ikutan lomba pasti pada komplain ina itu padahal alasannya cuma satu, takut kalah, takut di smash bola voli/kok dan berakhir memalukan karena pulang dari lapangan bukan bawa piala tapi tanda merah di pipi.

Lihatlah tanda...merah di pipi...bekas gambar tanganmu...

Yah, meski nggak sedashyat nyokab, tapi lumayanlah waktu SMP sama SMA saya pernah masuk tim bola voli dan basket (meski duduk terus di bangku cadangan) dan memenangi beberapa kejuaraan beberapa kali. Selain olahraga, darah seni yang nurun dari nyokab itu adalah keluwesan tubuh saya yang, yah nggak kalahlah dibandingin sama cinta ini tak ada logika. Atau Anggun, atau Reza Artamevia yang gaya cicaknya fenomenal abis.

Terus ini hubungannya apa ya sama judul?

Sabarlah, intro dulu kita. Jadi, saya cuma mau sharing saja pengalaman ngajar di pre school dulu yang sungguh berkesan karena waktu diterima saya masih berstatus sebagai mahasiswa kelas malam di salah satu kampus yang bertabur bintang alias selebrita, sebut saja si Maura di AADC, Dewi Rezer, Kemal, Nadine C dan kelak putri-putri Indonesia lainnya (beberapa), dll. Banyaklah kalau mau disebutin satu-satu nggak akan selesai ini tulisan.

Waktu itu sebetulnya saya sudah masuk tahap-tahap akhir kuliah karena sudah mendekati masa-masa skripsi. Jadi, kebayang kan gimana strugglingnya saya berjuang memenuhi pertemuan dengan murid-murid di kelas dari pagi sampai sore dan lanjut kuliah (waktu itu kampusnya masih di Kebon Sirih) sore sampai malam harinya.

Dan waktu diterima kerja, saya hampir nggak percaya karena waktu itu otomatis saya belum punya ijazah tapi pihak sekolah nggak masalah dan bilang saya bisa mulai kerja esok harinya. Fyuh. Waktu itu orang pertama yang saya hubungi tentu saja tiada lain adalah mama saya yang berkat doa dan dukungannyalah saya bisa melalui tahapan wawancara yang nggak mudah.

Pas masuk, karena masih baru saya masih tandom dan memerhatikan pola mengajar guru lain yang sudah lebih banyak jam terbangnya. Waktu itu seingat saya ada beberapa guru yang bahasa Inggrisnya nggak gitu fluent tapi mereka ok dalam transfer knowledge. Iya, di sekolah itu karena basisnya sekolah dari luar gitu, jadinya bahasa yang kita gunakan itu bahasa Inggris.  Beberapa muridnya juga ada yang dari luar, dan lucu-lucu lagi. (apalagi om-nya yang nganter).

Jadi, buat yang Englishnya biasa-biasa saja selama pede dan nggak grogi ngomong di depan anak-anak, nannya dan kadang orangtua murid pekerjaan jadi guru pre school itu bisa dipertimbangkan. Ngajar anak umur mulai dari 6 bulan sampai paling besar itu 5 tahun memang bukan pekerjaan yang mudah. Yang paling miris sih waktu lihat anak-anak itu lebih sering datang diantar sama nanny. Orangtua ada, tapi jumlahnya bisa dihitung pakai jari.

Dan rasanya sampai sekarang hal ini masih ada, ya? padahal itu saya waktu ngajar tahun 2006, lho. Berarti sudah berlalu sekitar sepuluh tahun. Wuih, sudah lama juga, ya? atau sudah tua juga ya, saya? Haha. Apa punlah. Yang pasti saya merasa senang bisa ngajarin anak-anak murid bukan cuma nyanyi-nyanyi, dancing-dancing tapi juga melatih saraf motorik halus dan kasar mereka dengan berbagai macam permainan. Di kelas itu, jika sudah masuk jam-nya kami akan membangun atau mengubah ruang kelas menjadi semacam kelas gym.

Di sana nantinya anak-anak bisa melatih olah tubuh mereka dengan menjajal berbagai macam alat permainan yang pastinya menyenangkan dan dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak. And you know what, yang paling menyenangkan itu selain melihat tawa mereka yang lepas, kelincahan mereka di kelas saat menari, bernyanyi atau bermain permainan apa pun itu, adalah kalau ada satu, satu saja murid yang cuma mau dipegang sama kamu saja. Haha.

Yeah. Bahkan di kelas semacam ini pun ada persaingan memperebutkan cinta murid #eh I mean, menyenangkan saja kalau ada satu murid yang tiap datang ke kelas semangat cuma buat ketemu sama kamu. Diajar sama kamu, main sama kamu, bahkan untuk ke kebutuhan toilet kamu pun akan dibawa dan diingatnya. Kamu nggak akan pernah bisa lepas dari satu murid itu sampai dia dipaksa, dibujuk, diiming-imingi oleh nanny atau kalau nanny nggak berhasil orangtua kemudian ditelepon dan masalah bisa ditebak bisa selesai meski nggak cepat-cepat amat.

Malah, kadang anak itu baru mau pulang setelah kita, alias guru-gurunya yang ajak ngobrol atau bujuk. Nanny-nya saja nggak jarang suka angkat topi atau bendera dan akhirnya harus nunggu mereka main lebih lama supaya mereka mau diajak pulang setelah dibolehkan menambah waktu main beberapa saat.

Priceless saja rasanya bisa melihat perkembangan mereka di sekolah, dan bagaimana bonding yang terjadi antara guru dan murid bahkan masih membekas hingga sekarang. Seingat saya, saya masih menyimpan beberapa foto murid-murid saya dulu, namun nggak bisa mengingat lokasi menyimpannya.

Setelah merasakan menjadi guru, saya baru tahu betapa besar jasa para guru saya dulu yang telah membantu membukakan mata saya pada banyak ilmu pengetahuan. Mereka mungkin tidak sempurna, tapi kalau bukan melalui mereka, mungkin kita tidak akan berada pada posisi kita sekarang ini.

Ya. Pendidikan memang bukan hanya bisa kita peroleh melalui institusi formal seperti sekolah. Belajar, bahkan masih harus kita lakukan dimanapun, kapanpun, dengan siapapun, kita kejar hingga kontrak hidup kita habis di dunia. 

Ada yang bilang, mata itu jendela hati. Dan melihat mata-mata murid saya kala itu, saya tahu mereka begitu mencintai guru-gurunya.

I love you, anak-anak.


















  

Komentar

Postingan Populer