Kerja di Media (Part 1)

Jika ada yang bertanya apa pekerjaan yang paling saya sukai dari semua pekerjaan yang pernah saya geluti, saya kira saya akan menjawab pertanyaan itu dengan cepat: wartawan. Menjadi wartawan memang tidak pernah terlintas sekali pun di benak sejak kanak-kanak, ia hadir dan tumbuh bersamaan dengan banyaknya momen yang saya lalui dalam hidup.

Menjadi anak-anak, remaja, hingga memasuki kepala tiga, ada begitu banyak hal yang terjadi dalam hidup saya. Ada yang indah, menyenangkan, penuh tawa dan bahagia, dan tak jarang saya juga diterpa masa-masa sulit, penuh jalan terjal dan berliku, mendaki dan penuh kegelisahan dan teman-temannya. Saya ingat pertama kali diwawancara untuk mendapatkan pekerjaan di sebuah tabloid kenamaan, saya hampir tidak percaya bahwa saya sanggup menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan dengan jawaban yang saya sendiri tidak yakin kalau saya bisa melakukannya. 

Sewaktu pertama kali mulai bekerja, saya ditandom dengan seorang laki-laki yang usianya di bawah saya (5-6 th). Dia masuk 2/3 bulan lebih dulu, saya lupa, dan saya masih ingat betul bagaimana gugupnya saya saat menemani teman laki-laki saya itu mewawancarai narasumbernya, aktor kawakan yang beberapa tahun terakhir terjun ke dunia politik. Deddy Mizwar. Pak haji, begit kami memanggil beliau kala itu mungkin merupakan narsum kesekian bagi teman saya itu, namun bagi saya, ia yang pertama. Dan meski terbata-bata pada awalnya, saya akhirnya berhasil mengajukan beberapa pertanyaan yang dijawab dengan antusias oleh pak haji.

Senang betul saya seusai wawancara karena ternyata beliau tidak hanya ramah namun juga baik hati karena melalui sang istri, mereka menyambut kami dengan sangat baik. Kami tidak hanya disediakan minum, tapi juga makanan (yang banyak dan beragam) dan diperkenankan menumpang shalat di sana. Sebelum pergi, sebagai kenang-kenangan saya pun meminta istri pak haji untuk berfoto dengan saya yang tentu saja disambut dengan sangat baik oleh beliau.

Saya bersyukur dan merasa bahagia karena diberikan kesempatan bertemu dengan narasumber seperti pak haji pada kesempatan pertama saya bekerja. Setelah yang pertama, segala sesuatunya berjalan lebih mudah meski tidak semuanya berjalan sesuai seperti yang saya inginkan. Bekerja di media itu, berarti kita harus siap menyediakan seluruh pikiran, tenaga, dan materi yang tidak sedikit terlebih kala itu saya bekerja di media yang punya jadwal deadline yang sangat ketat.

Saya sungguh terkejut, dan tergagap ketika harus menyesuaikan diri menghadapi masa-masa deadline yang mengharuskan kami menginap hingga tulisan kami selesai dicetak sebelum diterbitkan ke khalayak luas. Belum lagi saat berita yang kami liput seakan tidak berujung alias sulit menembus narasumber, ini sungguh membuat kami stres bukan kepalang.

Saya pernah diminta meliput pejabat yang diisukan punya wil, pernah juga diminta meliput ke rumah mantan presiden yang saya tidak ingat lagi isu persisnya. Saya bahkan sempat bersitegang dengan pemred perihal liputan ke rumah mantan presiden tersebut.

Meski demikian, saya selalu mengupayakan diri untuk bersenang-senang di tengah deadline yang membuat mata pedih, kepala pusing, dan kantong bolong dengan memikirkan kira-kira siapa lagi yang akan saya wawancara untuk edisi berikutnya padahal edisi yang di depan mata saja masih jauh dari final.

Saya pernah mengejar Dian Sastro yang hingga kini belum kesampaian (personal interview). Ada banyak isu yang kemudian muncul mengenai mengapa Dian seakan begitu sulit disentuh, terlebih oleh media yang tidak punya nama cukup besar. Saya sungguh tidak ambil pusing tentang itu, karena saya di hari berikutnya bisa bertemu dan mewawancara teh Melly Goeslaw yang sudah lama ingin saya temui. Saya mengaguminya sejak lama, sejak masih berseragam putih abu-abu dulu.

Dan rasanya piringan masa lalu itu seperti diputar kembali ketika saya, pada akhirnya setelah melalui perjalanan yang cukup jauh, mencari parkiran motor yang tidak mudah, sampai di lokasi dimana teh Melly akan mengawasi proses foto shoot dari calon artis baru yang sedang ditanganinya. Kami bicara hampir satu setengah jam lamanya diselingi tawa, canda dan kadang curhat sesekali hingga akhirnya saya mau tidak mau harus mengakhiri wawancara karena memang setiap pertemuan harus ada akhirnya. Waktu itu teh Melly masih rock n roll, bercelana pendek, ber t-shirt yang memungkinkan tatonya dikonsumsi banyak mata. Senang rasanya kini teh Melly telah berhijab dan tetap menjadi dirinya sendiri; ramah, hangat, dan percaya diri.








  














Komentar

Postingan Populer