Mengejar Kehangatan di Ruang-ruang Maya


"Wi, kalau masukkin nomor telepon gimana caranya? kalau balas sms pencet yang mana? ajarin mama pakai fotonya dong, biar besok bisa dipakai pas jalan-jalan sama teman-teman." Itu sebagian dari rentetan pertanyaan mama di rumah waktu pertama kali pakai telepon pintar yang dibelikan kakak. Sebetulnya sik mama belum perlu telepon baru karena telepon lamanya masih bisa dipakai, dan kelihatannya memang beliau lebih nyaman pakai telepon jadul kesayangannya itu.

Namun, gaya hidup yang ditawarkan teknologi merubah pola kebiasaan kita dari yang dulu tidak butuh foto-foto, sekarang jadi salah satu kebutuhan paling urgen yang harus dipenuhi. Kayaknya ada yang dirasa kurang gitu kalau pegang handphone tapi tidak ada fitur kameranya. Hari gini handphone lo nggak ada kameranya? mungkin kalimat itu yang pertama kali kita dengar waktu kita bilang kamera kita beneran tidak ada fitur kameranya.

Bagi mama saya dan era orangtua yang lahir di masanya, mungkin terbagi menjadi dua blok atau kubu dimana buat yang sudah tersentuh teknologi meski nggak gape-gape amat, sama yang memang masuk dalam kategori masa kecil, remaja hingga dewasa sama sekali nggak pernah tersentuh dengan yang namanya internet, macam mama saya tadi. Alhasil, begitu beliau diperkenalkan dengan dunia digital bernama internet, beliau jadi tergagap-gagap, macam ikan mas koki yang airnya dibuang, namun sekaligus penasaran dan haus kesenangan macam apa yang bisa ditawarkan kue legit bernama internet.

Ya, harus diakui sejak dunia kita dibombardir oleh gaya hidup serba praktis yang ditawarkan dunia digital, pola komunikasi kita pun turut berubah. Dari yang tadinya mungkin banyak tawa terurai di ruang-ruang keluarga, lambat laun berkurang intensitasnya, atau bahkan hilang sama sekali karena  masing-masing anggota keluarga sibuk berselancar di dunianya. Dunia maya.

Gaya hidup saat ini seperti telah menghilangkan batas-batas budaya lokal, daerah maupun nasional karena arus gelombang gaya hidup dengan mudahnya berpindah-pindah tempat melalui perantara media massa. Saya sempat menganggap Made Andi pasti bercanda di tulisan di blognya dengan mengatakan bahwa  anggota dewan yang gemar studi banding saat ini sudah semestinya bisa memanfaatkan kecanggihan yang ditawarkan teknologi ketimbang terus-terusan menghabiskan anggaran atas nama studi banding.

Sejurus kemudian saya terdiam dan menganggap ide studi banding dengan pergi ke luar negeri mungkin tidak lagi dibutuhkan jika mereka bisa mendapatkan apa yang mereka butuhkan melalui jaringan nirkabel. Seperti yang dilakukan Made Andi yang memberikan perkuliahan melalui skype (atau layanan apa saya lupa) dari Australia untuk mahasiswa di Indonesia.

Atau seperti yang saat ini tengah gencar dibangun pemuda bernama Budi dengan Sekolah TOEFL yang sistem belajarnya semua dilakukan via internet, khususnya memanfaatkan facebook serta whatsapp untuk kelancaran pemberian materi Bahasa Inggris kepada ribuan orang yang terdaftar.  Made Andi, juga Budi mungkin hanya dua orang dari sekian banyak orang Indonesia yang berotak brilian yang memanfaatkan teknologi untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar narsis di dunia maya.

Gaya hidup anak-anak zaman sekarang tentu saja berbeda dengan gaya hidup orang-orang yang lahir sebelum internet booming. Kalau dulu kita datang ke rumah makan karena lapar, sekarang mungkin kita datang ke resto, kafe, dan lain sebagainya hanya untuk mencari free wi-fi. Foto dulu baru makan kemudian, dan terus kemudian sibuk menunduk meski kita duduk bersama teman, keluarga, dan orang-orang terkasih.

Internet seakan telah merentangkan jarak yang begitu jauh untuk mereka yang dekat, dan mendekatkan mereka yang jauh di seberang benua sana hanya melalui telepon genggam saja. Luar biasa memang bagaimana sekarang, semuanya bisa kita akses dengan sangat mudah dengan hanya menggerakkan jari.

Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyebutkan, pengguna internet di Indonesia hingga saat ini telah mencapai 82 juta orang. Dengan capaian tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia. Dari jumlah pengguna internet tersebut, 80 persen di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Untuk pengguna facebook, Indonesia berada di peringkat ke-4 besar dunia.

Menurut data terbaru dari We Are Social ada kenaikan yang cukup signifikan mulai Januari 2015 sampai Januari 2016, yakni sekitar 15 persen yang semula 3,17 miliar kini menjadi 3,25 miliar pengguna internet di dunia. Dengan penetrasi 34 persen, kini pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta pengguna. 79 juta di antaranya merupakan pengguna media sosial aktif. Angka yang tidak mengherankan, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara teraktif pengguna media sosial.

(Infografis: techinasia.com)
Kondisi ini tentu saja menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial digital, dan bukan tidak mungkin jumlahnya akan terus bertambah. Di rumah saya sendiri, meski sudah terpasang internet, televisi masih jadi salah satu hiburan yang paling dicari untuk beberapa anggota keluarga. Untuk generasi yang jauh lebih muda, seperti adik saya, bermain games online tentu jauh lebih menarik untuknya dibanding siaran membosankan yang ditayangkan televisi kita yang makin tidak jelas arahnya.

Saya sendiri sudah lama tidak mengkonsumsi televisi, terlebih sejak bisa menemukan tayangan yang saya cari di youtube. Mungkin, posisi televisi sudah mulai akan tergusur keberadaannya dengan segala kemudahan, kepraktisan layanan yang disediakan internet di ponsel-ponsel kita.

Sebetulnya, saya merindukan betul masa-masa dimana saya bisa bermain loncat karet tanpa harus pusing memikirkan akan membuat status apa di akun sosial media saya, berapa likes yang saya dapat, dan berapa ucapan ulang tahun yang datang dari friendlists yang saya miliki yang mungkin sebagian besar diantaranya tidak benar-benar mengenal saya.

Kemudahan serta kepraktisan yang diberikan teknologi saat ini sampai kapan pun tidak akan pernah bisa menggantikan kehangatan, canda tawa, komunikasi tatap mata yang penuh makna yang kita dapatkan di dunia nyata. Benar memang zaman telah berubah, namun ada baiknya kita tidak benar-benar menjadi orang asing di tengah keluarga/kerabat sendiri. Mengejar yang maya, yang nyata diabaikan.  


(images: google)

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Konten Viral “Digital Lifestyle” supported by Indihome




















 

Komentar

Postingan Populer