Digaji oleh Siapa?

Apapun yang melandasi ucapan digaji siapa, saya kira kita semua sepakat bahwa apa yang kita punya dan miliki saat ini adalah bukan milik kita. Segala hal yang ada di bumi dan langit ini adalah milik sang Pencipta langit dan bumi. Kita digaji oleh siapa, bekerja dimana itu hanya sebagai perantara. Pemerintah, sejatinya bukanlah yang memberikan rezeki (gaji) melainkan Alloh azza wa jalla.

Jadi, sudah sepatutnya pertanyaan yang menurut Titik kekanak-kanakan tersebut tak lagi patut dipertanyakan, kepada siapapun, termasuk kepada ASN, pejabat, atau presiden sekalipun. Kalaupun sifatnya sebagai pengingat, sudah barang pasti pemerintah lebih berhak diingatkan bahwa, keberadaan mereka di atas sana adalah karena rakyat memberikan kepercayaan tersebut, dan Alloh mengizinkan mereka untuk berada disana. Tidak lebih tidak kurang.

Suka atau tidak, rakyat punya hak untuk memberikan kritik, dan sudah seharusnya pemerintah membuka telinga, mata, dan hati lebar-lebar atas kritik yang diberikan rakyatnya. Sebuah pemerintahan yang berjalan dimanapun tidak akan pernah lepas dari kekurangan, dan oleh karenanya kritik hadir untuk membantu pemerintah mencari solusi yang terbaik atas masalah yang ada. Itupun kalau pemerintah mau mendengarkan dan mau memperbaiki masalah yang muncul.

Masalahnya adalah terletak kalau pemerintah selalu merasa benar dan oleh karenanya berhak untuk melakukan tindakan apapun dengan alasan mengamankan negara. Ini tidak betul, dan saya sangat tidak setuju karena pemerintah akan menjadi sangat represif. Siapa yang tidak mengakui kalau umat Islam saat ini menjadi seperti minoritas di negerinya sendiri. Kajian dibubarkan, ustadz-ustadz yang tulus memberikan ilmu dipersekusi, namun, pemerintah hanya mengatakan kalau ada hal yang seperti itu dilaporkan saja. Sunggu sebuah dagelan sekali.

Sebuah jawaban yang tak bisa tidak membuat kita berdecak keheranan. Benarkah presiden tidak tahu akan apa yang tengah terjadi di negara yang dipimpinnya sendiri? saya kira, pemimpin manapun jika sadar dan mengerti bahwa pertanggungjawaban seorang pemimpin tidaklah mudah di akhirat kelak. Bahkan sekelas ulama yang mashyur di zaman rosul lebih memilih penjara agar terlepas dari fitnah menjadi seorang qodi.

Sungguh, tidakkah kita rindu dipimpin oleh pemimpin yang takut akan dzolimnya dirinya kepada rakyatnya seperti Abu Bakar yang memikul makanan sendiri di pundaknya untuk seorang janda tua yang bahkan tidak mengenalnya? atau Umar yang menikahkan anaknya dengan anak seorang penjual susu yang tak rela susu dagangannya dicampur dengan air sekalipun ibunya menginginkannya? karena mereka yang membeli susu dagangan mereka memang tidak melihat, tapi bukankah Tuhan Umar maha mengetahui?

Wallahu ta'ala a'lam

Komentar

Postingan Populer