Relatif atau mutlak?

Walau terdengar mustahil, aku percaya kondisi apapun yang sedang kita alami saat ini semua pasti ada hikmahnya.

Saat seorang lelaki disodori pilihan untuk menjadi seorang nabi atau pemilik hikmah, lelaki sholih itu memilih yang kedua. Sungguh nggak banyak orang yang mau menangkap hikmah sekalipun telah diberi tanda oleh-Nya.

Posisiku saat ini persis seperti beberapa tahun yang lalu. Sampai akhirnya, kesempatan itu datang setelah 2 tahun lamanya aku bergelut dengan keseharian di rumah. Kukira, dengan mencoba menjadi blogger aku mulai bisa -setidaknya merajut harapan untuk bisa mengakrabi dunia menulis lagi.

Walau kemungkinan besar karena hal itu juga, dua perusahaan nggak memperpanjang masa kontrakku. Itu hak mereka, tentu saja mereka boleh melakukannya selama disertai argumentasi yang tepat mengapa mereka melakukannya.

Dan aku, walau mungkin bisa mempertanyakan kenapanya lebih lanjut, merasa mungkin Allah ingin menempatkan aku di ruang-ruang di luar sana yang mungkin jauh lebih baik.

Yang kutahu, aku telah mengusahakan yang terbaik. Memberikan apa yang bisa kuberikan. Dan, menengok kembali apa yang ditulis SGA membuat dada ini sedikit lapang.

Bagus atau kurang bagus itu sungguh relatif. Tidak seperti kebenaran, persoalan bagus atau kurang bagus hanya menyoal selera. Kita pun sebagai karyawan berhak berhenti dari sebuah perusahaan, bahkan untuk alasan paling remeh sekalipun.

Karena kamu tahu apa, yang remeh buat kamu belum tentu remeh atau nggak penting buat orang lain.

Misal, kamu nggak mau lagi ada di kantor itu karena cowok yang kamu sukai dan kecengi selama ini ternyata sudah menikah. Atau rekan kerja kamu bau badannya nggak kekontrol banget.

Masalahnya, apa iya kamu mutusin resign cuma gara-gara itu? Yah, mungkin bisa saja sih kalau kamu memang benar-benar sudah nggak tahan. Kamu berhak memutuskan apa yang terbaik bagimu.

Apapun itu, kita harus terus melakukan perbaikan. Karena mungkin saja sebuah perusahaan tidak bisa melihat potensi itu jauh di dalam dirimu.

Namun perusahaan lain bisa lebih jeli dan mau menggali serta membicarakan berbagai kemungkinan positif yang ada. Aku senang mendapat kesempatan interview dengan perusahaan Jepang beberapa waktu yang lalu.

Orang Jepang, menurut Kagawa waktu kutanya semua pasti pekerja keras, ya menggeleng dan menjawab, "Nggak juga, kok. Tergantung orangnya juga." Tentunya nggak pakai bahasa Indonesia, ya.

Lalu dia tertawa dan aku pun tersenyum mendengar kalimat berikutnya. Dia bilang dia suka pekerja perempuan di negeri ini yang rata-rata hard worker. Aku nggak tahu ukuran yang dia pakai apa.

Tapi well, kalau itu rasanya aku nggak bisa menampiknya. Setidaknya, aku juga melihat dan merasakan hal yang sama.

Menjadi wanita pekerja di Indonesia dengan upah yang tak seberapa, bukan pekerjaan yang mudah. Kecuali kau bekerja dengan keahlian /bidang yang spesifik, diupah umr buat negara sepertinya sudah merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa.

Walaupun perempuan tidak wajib bekerja untuk membantu menafkahi keluarganya bila ia sudah menikah, bekerja bukan hal yang tabu atau dilarang. Boleh, tentu saja dengan tetap memperhatikan rambu-rambu lalu lintasnya.

Oh ya, rocky, mungkin kau bisa mengajak ustadz Budi diskusi yang berisi tentang bagaimana menjadikan negara ini makmur, adil dan sentosa. Beliau adalah pakarnya, dan semoga Allah memudahkan dan melembutkan hatimu untuk menerima hidayah Islam.

Aamiin allohuma robbal 'alamiin.


Komentar

Postingan Populer