Mencari (Pilih-Pilih) Pasangan Hidup (Nyinyir Episode)

Sejak kapan kita begitu nyinyir dan mungkin merasa terganggu ketika ada orang yang tiba-tiba menjadi sangat relijius. Terlepas dari masa lalu atau latar belakang orang yang tiba-tiba menjadi relijius itu, saya kira kita perlu memahami bahwa hidayah itu wilayahnya Alloh SWT.

Alloh lebih tahu siapa yang mau dan berhak diberikan hidayah. Manusia sama sekali nggak punya andil dalam memberikan hidayah bahkan pada orang-orang terdekat yang kita kasihi sekalipun.

Saya memang sempat bertanya, bagaimana artis-artis beken dan ternama itu berbondong-bondong memutuskan memakai hijab (perempuan), memanjangkan jenggot atau bahkan memakai celana cingkrang (laki-laki). Kalau mau dilihat dari sisi tren, mungkin biasa-biasa aja ya karena di luar negeri pun kayaknya mas-masnya lagi senang-senangnya numbuhin atau manjangin jenggot dan bercingkrang ria sekalipun bukan seorang muslim. Dan itu sah-sah saja.

Tapi bagi seorang muslim, melakukan segala sesuatunya itu bukan hanya karena sekadar: "Ini lagi tren, lokh." It is more than that, beyond that. Pada dasarnya, kita memang suka usil sama hidup orang lain. Itu sebabnya kenapa pertanyaan seputar; kapan nikah, kapan punya anak, kapan nambah anak, kenapa nggak nikah-nikah atau pertanyaan lain yang sejenis bertengger terus di posisi puncak dan nggak mau turun-turun selama kita masih suka ngurusin hidup orang lain.

Kalau ada yang bilang, pertanyaan itu kan bisa jadi karena dia peduli  sama hidup kamu. Yang sayangnya saya kurang bisa menerima. Kamu boleh sepakat boleh tidak, tentu saja kamu punya hak untuk itu.

Kalau beneran peduli, saya pikir kamu bisa mengeluarkan pertanyaan itu sembari menyerahkan nama-nama teman kamu yang potensial buat dikenalin ke teman atau keluarga kamu atau siapapun itu yang belum menikah ( dan yang ingin menikah tentu saja).

Orang belum menikah itu kan banyak faktornya, ya. Mungkin juga ada orang yang memang nggak mau nikah --terlepas dari apapun alasannya. Dan kita nggak bisa menghakimi faktor-faktor tersebut karena kita sendiri nggak mau kan mengalami hal yang serupa.

Dan yah, karena mengenalkan ini juga bukan hal yang mudah buat dilakukan, jadi wajar saja kalau nggak banyak orang yang mau melakukannya. Karena menikah itu kan bukan persoalan yang sepele yang bisa dipikirkan dalam waktu satu dua hari.

Makanya saya heran kalau ada orang yang nggak ada pertanyaan lain kali ya, yang ditanyain cuma itu-itu aja. Terus nih ya, kalau mau mengenalkan kita bisa mulai dengan mencarikan yang minimal sekufu atau sama, entah itu dari latar belakang, pendidikan atau yang lainnya.

Soal sekufu ini menjadi penting karena di zaman nabi ada sahabat yang akhirnya bercerai karena perbedaan yang sangat mencolok. Sahabat nabi itu tentu seorang yang shalih dan berakhlak baik, namun secara ekonomi beliau memang miskin. Begitu pun rupa, kalau sekarang kita bilangnya "nggak banget" atau "nggak bisa diajak ke ondangan, nih." Yang begitu-begitulah.

Memang sejatinya hak seseorang mau memilih pasangan hidup yang seperti apa, dan Islam sudah kasih guidelinenya yang 4 itu. Nah, ini sebabnya kenapa cari pasangan suami/istri itu nggak mudah karena dari 4 itu, kalau ada satu hal yang harus jadi pertimbangan banget itu adalah agamanya karena fisik, materi dan keturunan itu subjektif sifatnya.

Jadi, misal kalau si dia udah nggak beruang, tampang biasa dan kerjaan juga so so tapi agama dan akhlaknya baik, kita bisa maju untuk meneruskan.

Tentunya setelah kita merasa tertarik dulu nih (pastinya muncul dari melihat langsung ya) dan merasa yakin kalau kita bisa menjalin rumah tangga sama laki-laki atau perempuan tersebut.

Setelah itu, baru deh kita bisa mulai cari tahu apa sih tujuan pasangan kita menikah atau konsep rumah tangga yang dia idam-idamkan itu seperti apa. Karena ada yang menikah jalani dulu aja, kayak pacaran nggak tahu mau dibawa kemana. Berabe sih menurut saya.

Karena memang menjadi istri atau suami itu nggak ada sekolahnya. Oleh karena itu, sebelum mencari pasangan, kita perlu belajar, mencari tahu seperti apa sih prosesnya dalan Islam.

Selama kita masih mengaku muslim, tentunya kita nggak bisa bilang nggak usah terlalu fanatik deh atau agamais. Yang biasa-biasa aja. Kebayang nggak bahayanya apa kalau kalimat seperti ini terus kita dengungkan? Didengar sama anak-anak kita?

Yuk kita, setidaknya mencoba untuk menempatkan posisi kita pada orang lain. Menjaga lisan, memilih ucapan karena kita itu seharusnya menjadi hakim untuk diri kita sendiri, bukan orang lain. Ada kalanya yang dibutuhkan orang lain bukan nasehat, melainkan doa.

Ada kalanya nasehat walau tak tersampaikan lewat kata, menghunjam kuat di jiwa melalui (tauladan) perbuatan. Apa yang kita pandang melalui kaca mata kita tidak bisa kita paksakan pada orang lain, karena belum tentu cocok.

Kecocokan itu akan menemui labuhnya bila kita kaitkan atau sandarkan pada Alloh izzati robbul alamiin.

Komentar

Postingan Populer