Sebuah Disiplin Bernama Call Center

Minggu lalu, saya kembali mendapat panggilan untuk interview di sebuah perusahaan contact service center yang terletak di bilangan Jakarta Selatan. Saya punya kebiasaan setiap interview atau tes untuk datang beberapa menit lebih cepat agar bisa leluasa mempersiapkan diri. Sebenarnya, saat perusahaan ini menghubungi beberapa hari sebelumnya, saya sempat bingung mengapa mereka bisa mendapatkan data saya karena saya merasa tidak pernah mengirimkan lamaran ke perusahaan tersebut. Ternyata, setelah saya ingat-ingat, sebelumnya mereka pernah menghubungi saya (lupa persisnya kapan), dan bilang kalau mereka mendapat data saya dari sebuah situs lowongan kerja yang dimana saya tidak punya akun di dalamnya.

Jadi, baiklah. Berhubung saya juga masih belum bekerja, saya pun mengiyakan tawaran interview yang mereka berikan. Di hari H-nya, begitu sampai di depan pintu, saya lihat beberapa orang tampak serius mengisi sesuatu seperti formulir. Lumayan banyak. Saya hitung lebih dari 6 orang. Saya pun menyapa resepsionis dan menyampaikan maksud kedatangan, dan langsung diberikan formulir untuk diisi. Standarlah, seperti data-data yang kita tulis di cv kita disertai dengan beberapa tambahan seperti referensi, dll.

Saya mengisinya dengan cepat, kemudian menyerahkannya kepada resepsionis segera setelah semua data saya rasa sudah terisi dengan yang benar. Sambil menunggu giliran, saya memperhatikan raut wajah karyawan yang lalu lalang. Banyak dari mereka yang terlihat bahagia, biasa-biasa, ada juga yang sedikit berbeda dari yang lainnya. Dari sana, saya menyimpulkan, bekerja di sini mungkin menyenangkan dan tidak seburuk yang saya pikirkan (karena ini semacam outsourcing) jika dilihat dari aura wajah karyawan yang bolak balik di hadapan kami. Ha ha. So you know gitulah, semacam cenayang ya, buk, mencoba menebak isi hati dan pikiran orang.

Cukup lama nama saya akhirnya disebut, dan selama menunggu, saya menghabiskan waktu untuk mengobrol dengan seorang perempuan yang menegur saya lebih dulu. Perempuan yang kemudian saya tahu sudah menikah ini (dan saya lupa apakah kami sudah berkenalan atau belum), tinggal di daerah mana saya lupa, datang menggunakan motor. Sempat nyasar sampai ke Depok, dan merasa sangat bersyukur bisa sampai dengan selamat ke tempat ini. Meski setelah dipanggil masuk untuk wawancara, mereka bilang perusahaan belum membutuhkan untuk latar belakang pendidikan yang dimilikinya (kebidanan/nutrisi something).

Ibu ini ramah banget. Setelah keluar, dia nyamperin dan nyalamin saya untuk pamit sambil bilang kalau tidak ada tempat untuknya saat ini. Saya pun tersenyum dan mengatakan padanya kalimat penggugah semangat yang juga saya tujukan untuk diri saya sendiri. Kami berpisah, dan tak lama setelahnya, nama saya dipanggil terakhir dari 3 orang yang disebutkan. 

Kami diwawancara oleh seorang mbak-mbak, dan ditanya secara bergilir, dengan giliran kadang dilakukan secara sukarela. 2 orang lain yang duduk di kanan dan kiri saya adalah seorang perempuan muda (masih kuliah) dan seorang lelaki beranak 1 yang masih bekerja sebagai IT di sebuah bank.

Beberapa pertanyaan yang ditanyakan dalam bahasa, diminta untuk dijawab menggunakan Inggris. Baiklah. Saya sempat keseleo karena sudah lama juga tidak ber-english ria. Dulu, saat masih sering nyanyi-nyanyi lagu barat, hampir tiap hari saya ngoceh pakai bahasa londo. He he. Sekarang sudah berkurang frekuensinya, alhamdulillah.   

Wawancara berlangsung kurang lebih selama 20-30 menit, berakhir dengan saya dan mas di kanan saya disuruh menunggu untuk kemungkinan wawancara dengan user. Sementara mbak yang di sebelah kiri saya diminta untuk tetap stand by, siapa tahu mereka membutuhkannya. Jika yang lelaki disuruh menunggu karena wawancara berikutnya baru akan berlangsung pada 13.30, saya langsung diminta ke lokasi dimana user berada, yaitu di daerah Kebagusan.

Berbekal info dari mbak yang mewawancara saya tadi, dan tanya-tanya di jalan, saya bersyukur karena perjalanan menuju ke sana dimudahkan. Di busway, saat saya bertanya kepada petugas di halte mana sebaiknya saya turun jika ingin menuju Kebagusan, dua orang perempuan yang duduk di depan saya langsung menjawab, "di halte ini aja, mbak" dengan cepat. Saya mengangguk dan berusaha mencerna arah selanjutnya. Mereka kembali bertanya, Kebagusannya dimana, mbak?

Jawaban saya direspon dengan, "bareng aja, kita juga mau ke arah sana". Wuaaahh, senangnya bukan main saya waktu itu karena jujur, saya awam banget sama daerah Barat, dan Utara. Jangan tanya 2 itu, deh, daerah timur sama pusat juga kadang masih suka nyasar, ha ha. Apalagi ini x_x

Mbak-mbak yang baik hati ini mengantar saya sampai persis di depan gedung, sementara mereka masih harus meneruskan perjalanan. Alhamdulillah. Saya takut saja kalau mereka yang turun duluan dari saya, karena saat itu angkotnya sepi. Cuma ada 4 orang, termasuk kami. Semoga Alloh membalas kebaikan yang berlipat pada mbak-mbak itu dan keluarganya dan orang-orang baik yang telah membantu saya hari itu. Aamiin...

Sepanjang perjalanan, saya sempat menimbang, jika memang pada akhirnya berjodoh dengan perusahaan ini, apa saya akan benar-benar menerimanya dengan lapang dada. Call Center... sebenarnya pekerjaan ini tidak asing buat saya. Di tahun 2007, setahun setelah lulus kuliah, saya sempat bekerja untuk sebuah bank kenamaan sebagai layanan pusat informasi mereka. Waktu itu saya kebagian mengurusi nasabah kartu kredit. Duh, kebayang tidak sih, ribetnya perhitungan bunga di kk? saya yang lemot dalam hitung-hitungan sering merasa down tiap kali menemui nasabah yang meminta perhitungan ini dan itu. Saya sempat struggling beberapa waktu, sampai akhirnya berkata pada diri saya sendiri bahwa saya harus bisa menguasainya demi memberikan pelayanan yang maksimal pada nasabah.

Bekerja selama 2 tahun sebagai Call Center, memberi warna baru dalam hidup saya yang waktu itu masih dihitung sebagai fresh graduate. Pekerjaan sebagai kontak center ini memang sering dijadikan batu loncatan mahasiswa yang baru lulus kuliah. Pun saya. Walau pada akhirnya, saya merasa pekerjaan ini memberikan saya keluarga baru yang sangat hangat dan berharga hingga saya merasa sangat sayang jika harus keluar. Namun, kenyataan berkata lain. Bank tempat saya bekerja, memutuskan untuk merger dengan bank swasta lain dan mengharuskan kami pindah menempati gedung bank tersebut yang terletak di Kebun Jeruk. Duh, itu kan jauh sekali.

Bekerja dengan sistem shift saja kadang sudah membuat saya kelimpungan, bagaimana jika ditambah harus menghabiskan waktu lebih lama menempuh perjalanan menuju kantor? belum sampai, bisa-bisa saya sudah teler duluan, nih. Ha ha. Yah, akhirnya, saya kemudian memutuskan resign juga dengan pertimbangan tidak direstui untuk kos oleh orang tua. Karena belum menikah, restu mereka adalah segalanya buat saya.  

Call Center itu, menurut senior kami yang juga supervisor yang saya kagumi, adalah pekerjaan multitalent karena selain menerima telepon, di saat yang sama kami harus mendengarkan dan merespon keluhan atau permintaan nasabah dengan cara yang paling baik untuk kemudian menuliskannya menjadi sebuah laporan yang disampaikan pada pihak yang terkait.

Pekerjaan ini tidak mudah, lho, karena menuntut fokus, ketajaman, ketelitian, dan kesabaran yang mumpuni karena telepon tidak akan berhenti berdering sampai kami menekan tombol ACW, AUX, atau istirahat. Persoalan disiplin adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar, karena ini berhubungan dengan KPI perusahaan dan ujung-ujungnya berimbas pada sang karyawan.

Meski berada di bawah naungan outsource, saya juga mendapat fasilitas kesehatan, dan bonus, juga cuti yang tentu tidak sama dengan mereka yang tidak outsource. Hal ini juga dulu sempat menjadi bola panas, karena outsource tidak juga memberikan kepastian status pada karyawan yang telah bekerja lebih dari 2 tahun.

2 tahun menjadi Call Center, membuat saya mengerti arti disiplin dan menghargai betapa satu detik berharga untuk setiap orang. Bukan hanya bagi nasabah, tapi juga bagi karyawan yang ingin mendedikasikan dirinya dengan baik pada perusahaan tempat ia mencari kehidupan.

Pekerjaan akan selalu terasa berat jika kita hanya mengejar dunia semata. Alangkah indahnya, jika setiap pekerjaan yang kita lakukan didasari untuk mengejar ridho Alloh, karena di sanalah letak keberkahan dan kebahagiaan yang sejati berada.

Wallahu'alam bishawwab


Komentar

Postingan Populer